kontakpublik.id, SERANG--Rakyat tak lagi menganggap penting mendengar kerigian negara $ 800 milyar. Juga tak perlu mendengar kerugian PT. Timah ya g seharusnya profit 25 yriliun per tahun, namun hanya diakui cuma 1,3 triliun saja. Demikian juga keberadaan Bandar Udara di wilayah Indonesia yang tidak terkontrol oleh negara. Begitu juga ocehan tentang 80 persen timah dari Indonesia dibawa ke luar negeri tanpa membayar pajak. Sebab rakyat sudah lebih tahu tentang semuanya itu hanya sekedar untuk melupakan perut yang lapar serta kebingungan untuk membayar biaya sekolah dan belanja ekonomi rumah tangga yang semakin memburuk.
Rakyat pun tak perduli siapa pemiliki kebun sawit PT. Perkebunan Kaltim Utama, PT. Tritunggal Sentea Biana, PT. Admira Lestari Industri. Apalagi untuk pemilik PT. Tidar Kerinci Agung do Sunatra Barat dan Jambi. PT. Kiani Hutani Lestari Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur dan PT. Balantara Pusaka , do Berau, Kalimantan Timur. Termasuk PT. Tanjung Redeb Hutani, PT. Kertas Nusantara yang membutuhkan banyak kayu bukan hanya untuk memproduksi kertas, tapi juga untuk keperluan lain yang memiliki nilai komersial tinggi dan sumber pendikangan uang dan kekayaan, kendati akibatnya telah memiskinkan dan menyesengsarakan rakyat.
Yang diperlukan oleh rakyat adalah tindakan nyata, bukan omong kosong doang. Sebab yang diperlukan dalam mengurus negara dan menyelamatkan rakyat harus dengan tindakan nyata dan berhasil guna. Tidak bisa cuma omong doang, tampa bukti yang bisa segera firasakan oleh rakyat manfaatnya nyata harus dapat. Persis seperti bantuan untuk bencana akibat ulah manusia di Sumatra, mana mungkin bisa ditunda, karena langkah cepat diperlukan tak hanya sekedar untuk menghadapi ancaman kelaparan, tapi juga kesehatan dan kembali menjalani hidup yang layak, kendati sejumlah harta dan benda hingga ternak peliharaan -- bahkan saudara dan sejumlah anggota keluarga lain yang hilang maupun yang neninggal dunia pun harus diurusi secara benar dan layak.
Jika rilis berita dari perkembangan terbaru tentang bencana akibat ulah manusia di Sumatra ini bisa dipercaya, hingga 8 Desember 2025 bahwa skala bencana ulah manusia yang sangat besar ini berdampak pada jutaan warga serta ribuan korban manusia dan entah berapa nilai kerugian harta benda serta berbagai bentuk usaha yang hilang, memang pantas disebut sebagai bencana nasional agar tidak menunjukkan sikap arogan dan hasrat menutup diri dari keculasan diri sendiri guna menutupi kesalahan akibat ketamakan yang tidak terkendali.
Tercatat di Aceh, menurut pihak Kepolisian 1,9 juta jiwa terdampak, 831.100 jiwa mengungsi tersebar di selitar 2.000 titik. Korban menibggal 381 jiwa dan 31 orang hilang. Sedangkan di Simatra Utara tercatat 1,6 juta jiwa terdampak dengan 339 orang meninggal dan 107 orang hilang. Di Sumatra Barat 256.681 jiwa terdampak dengan 235 korban meninggal dan 93 orang hilang. Menurut Kombes Pol. Erdi A. Chaniago total korban seluruhnya di tiga provinsi Sumatra ini -- untuk sementara -- berkumlah 965 meninggal, 1.043.luka berat, 3.974 luka ringan dan 231 orang hilang. Hingga 727 jenazah telah berhasil teridentifikasi identitasnya.
Jadi pangkal soal yang bermula dari konsesi pengirim bencana itu memang sudah dimulai sejak awal dalam tata cara pengelolaan yang salah terhadao negeri ini. Setisaknya Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mencatat, semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi pemegang tekor yang paling banyak memberikan konsesi lahan kepada pengusaha dan korporasi hanya dalam 10 tahun berkuasa telah memberi konsesi 55 juta hektar lahan kepada korporasi atau pengusaha untuk menebang kayu di hutan lalu mengolah lahan sesuka hati mereka. Semasa Presiden Soeharto -- yang berkyasa 32 tahun -- tercatat 78,6 juta hektar. Dan semasa Presiden Joko Widodo konsesi lahan kembali diumbar seluas 7,974.889 hektar. Sayangnya pada era Presiden Prabowo Subianto masih dalam proses pendataan, kendati masih dalam tenggang waktu yang relatif singkat, namun sudah menuai bencana di berbagai daerah, hingga bencana yang baru saja terjadi di Aceh, Sumatra Utata dan Sumatra Barat yang sungguh sangat memilukan. Sebab bantuan untuk para korban bencana akibat ulah manusia ini pun justru menjadi obyek jarahan oleh mereka yang hadir dilokasi bencana untuk sekedar mendulang citra diri memiliki kepedulian kemanusiaan yang palsu.
Lalu apa apa artinya semua itu bagi rakyat -- hutan, perkebunan, lahan tambang dan kerusakan alam san lingkungan -- bagi kelangsungan hidup manusia yang masih mampu bertagan untuk terus hidup dalam kerusakan akibat ulah manusia ini ?
Agaknya, rakyat sendiri sudah tidak lagi memiliki sisa kesabaran untuk menunggu dan menanti janji dan omong besar pejabat yang akan melakukan tindakan nyata, meski inisiatif dari rakyat sendiri bisa saja dilakukan dengan cara dan pilihan yang paling tepat. Karena rakyat memang tidak boleh diam dan harus bahwa masa depan untuk keselamatan masa depan bagi bangsa dan negara Indonesia berikutnya tidak bisa begitu saja dipasrahkan kepada siapa pun, karena neferi ini adalah milik kita yabg harus ditata lebih baik dan lebih beradab dengan sikap yang ugahari. Banten, 15 Desember 2025 (red)
