Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jacob Ereste : Kesadaran Spiritual Semakin Mendesak Untuk Membangun Budaya dan Akal Budi Manusia Indonesia Yang Lebih Beradab

Minggu, 05 Oktober 2025 | 12.26 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-05T05:26:30Z

 



kontakpublik.id, MUSIUM AYANI--Kesadaran dan pemahaman spiritual, semakin mendesak untuk "dibumikan" agar orientasi kehidupan duniawi dapat dikendalikan, sehingga arahnya  dapat diorientasikan kepada  hal-hal yang bersifat rohaniah, tak hanya jasmaniah atau duniawi semata, supaya manusia tidak semakin melupakan Tuhan. Karena itu,  konsepsi tentang dosa -- dalam pandangan semua agama yang percaya kepada Tuhan -- dapat mencegah, atau setidaknya mengurangi sikap dan sifat ketamakan, kerakusan dan kesemena-menaan yang mengabaikan etika, moral dan akhlak sebagai anugrah dari Tuhan untuk membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Maka itu, manusia -- dalam konsepsi Tuhan -- merupakan makhluk yang paling mulia, bahkan dipercaya sebagai wakil Tuhan -- khalifatullah -- di bumi.


Demikian ungkap Sri Eko Sriyanto Galgendu dalam dialog santai bersama sejumlah sahabat dan kerabat GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) di Gasebo Museum Sasmitaloka, Jendral Achmad Yani saat jeda dari acara Silaturahmi GPP-TNI Bersama Putra Putri Pahlawan Revolusi, Sabtu, 4 Oktober 2025.


Kecerdasan spiritual itu sendiri sangat diperlukan bagi seorang pemimpin politik untuk dapat mengembalikan marwah dan jatidiri bangsa yang berkepribadian luhur. Lantaran nilai-nilai kemanusiaan dan  Ketuhanan merupakan kunci penyelamat bagi bangsa yang tersesat,  akibat abai dari terhadap nilai-nilai etika, moral dan akhlak sebagai cermin dari kedekatan manusia dengan Sang Maha Pencipta penguasa jagat raya atau alam semesta ini  untuk mencegah kerusakan dalam arti apapun di bumi.


Keluhan dari sejumlah kawan, kata Sri Eko Sriyanto Galgendu berkisah tentang keluh kesah rekannya dari kalangan pengusaha yang mampu memasukkan  anaknya di sekolah yang terbilang paling favorit, memang berhasil membangun kecerdasan sang anak sehingga kampiun dalam arti rasio, nalar dan logika. Namun yang menjadi pertanyaan yang meresahkan itu  bagi pada orang tua terhadap anaknya adalah sikap sopan santun atau unggah-ungguh kepada orang tua ketika harus menghadapi pola sikap dan tingkah laku anak-anaknya yang cerdas, namun tidak memiliki etika dan rasa hormat kepada orang tua. Atau bahkan, sikap anak-anak muda sekarang terkesan "jadi sangat melawan" terhadap orang tua yang telah membesarkan, biayai pendidikan mereka mulai dari tingkat yang paling rendah hingga perguruan tinggi.


Fenomena umum ini sesungguhnya menandai merosotnya pelajaran tentang  Budi Pekerti -- akal pikiran, perasaan, hati nurani serta moralitas -- yang jeblok akibat tidak lagi menjadi mata pelajaran yang dianggap penting dan perlu seperti sistem pendidikan tahun 18l970-an dan sebelumnya. Karena itu, fenomena dari  sejumlah orang tua yang memasukkan anaknya di sekolah maupun perguruan tinggi berbasis agama -- terutama pesantren -- menjadi semacam trend pilihan paporit untuk menjawab keresahan seperti yang sudah disebutkan di atas.


Kesimpulan dari fenomena anak-anak Indonesia yang tidak lagi mempelajari Budi pekerti -- sebagai ilmu dan pengetahuan yang dilandasi oleh akal, perasaan, hati nurani, empati dan nilai- nilai moral -- seperti tergerusnya bahasa ucap yang sopan dan santun, persis seperti yang banyak mereka ucapkan melalui media sosial dalam bahasa ucap yang kasar dan fulgar. Padahal "Akal Budi" sesungguhnya merupakan gabungan dari akal yang terdiri dari rasio, nalar dan nilai-nilai moral yang semakin terabaikan sejak 30 tahun terakhir ini di Indonesia. Artinya, keseimbangan antara akal dan hati minimal harus setara. Kendati acap kali yang satu harus lebih diistimewakan dari yang lain. Begitu juga sebaliknya.


Akal Budi memang merupakan kemampuan manusia untuk berpikir rasional -- antara kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual, atau sebalik. Dalam arti kata yang lain, itulah tandanya manusia itu  tidak cuma cukup cerdas dalam pengertian intelektual, tetapi juga harus cerdas dalam dimensi spiritual. Sebab hanya dengan cara ini, sikap bijak yang dilandasi oleh etika dan moral akan mencerminkan akhlak mulia manusia yang bersangkutan. Bika tidak, lantas apa bedanya manusia dengan hewan yang tidak menggunakan akal, perasaan serta sikap empati, hormat dan unggah-ungguh yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk lain, kecuali manusia.


Dalam perspektif filsafat -- terutama dalam pemikiran Immanuel Kant -- akal budi disebut sebagai kemampuan tertinggi manusia untuk menentukan kehendaknya berdasarkan hukum moral, jadi bukan sekedar dorongan nafsu atau birahi dan kepentingan pribadi. Dan cermin dari merosotnya nilai etika, moral dan akhlak mulia -- sebagai anugrah Tuhan kepada manusia dan tidak diberikan juga kepada makhluk yang lain -- sangat kentara dan  terkesan dari tutur kata mereka yang tidak berkelas. Tidak membedakan dengan  siapa saja mereka sedang berbicara atau melakukan dialog. Sehingga bahasa ucap untuk sesama mereka pun digunakan untuk orang yang lebih tua. Jadi sungguh tak ada unggah-ungguh. Tak ada sopan santun, dan tak mampu membedakan dengan siapa mereka sedang berbicara. Semua jadi dipukul rata. 


Dalam konteks inilah bahasa berkelas atau bahasa berjenjang yang harus disesuaikan dengan siapa pembicaraan tengah dilakukan, perlu dilakukan dengan kesadaran budaya, setidaknya antara bahasa kromo Inggil dan ngoko, seperti yang ada di dalam tata kerama adat istiadat semua suku bangsa yang ada di Nusantara yang telah menjadi Indonesia seperti yang kita jalani dan kita lakukan sekarang. Musium A. Yani, 4 Oktober 2025 (red)

×
Berita Terbaru Update