kontakpublik.id, PANDEGLANG--Konferensi Pers Di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, pada Jum'at (03-10-2025) digelar. Soal dugaan tindakan kecurangan atau penipuan yang dilakukan secara sengaja untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau merugikan pihak lain, itu melanggar hukum, seringkali melibatkan penyalahgunaan informasi, aset, atau kepercayaan.
Sebut saja tindakan fraud bisa terjadi di berbagai sektor, baik oleh pihak internal maupun eksternal, dan dampaknya bisa sangat merugikan, baik secara finansial maupun reputasi. Dugaan tersebut ditemukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aulia Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Demikian Kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC), Gabungnya Wartawan Indonesia (GWI) Kabupaten Pandeglang, Raeynold Kurniawan.
Dirinya menyatakan, berawal atas Laporan pasien atas nama tuan Kasa yang beralamat di Taneuh Beureum, Desa Sumurlaban, Kecamatan Angsana, gunakan BPJS namun ko jadi bayar umum semestinya kan tidak bayar, anehnya kuitansi tidak di stample dan di tandatangani. Padahal RSUD Aulia itu lembaga resmi, jadi kacau. Katanya
Polemik pelayanan pasien BPJS itu mencuat di Kabupaten Pandeglang. RSUD Aulia Pandeglang diduga mengalihkan status pasien BPJS menjadi pasien umum dengan alasan pasien tidak sampai 24 jam dirawat. Kasus ini menimpa Kasa (72) yang pada 27 September 2025 masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Aulia dengan keluhan sesak napas.
Raenold curiga kalau ini disebut human error, kami tidak bisa mentolerir. Karena ini menyangkut hal vital: hak rakyat kecil. Jangan-jangan BPJS-nya tetap dicairkan, sementara pembayaran pasien secara tunai juga diterima. Itu yang menjadi kecurigaan kami,” jelasnya
Ini dalihnya human error, tidak masuk akal karena struk pembayaran tercetak dengan komputer. “Ini bukan tulisan tangan, ini hasil cetakan komputer. Jadi kalau dibilang human error, memangnya listrik padam? Lagi pula, RSUD beroperasi 24 jam. Jadi alasan itu jelas mengada-ada. Tuturnya
Dalam konferensi Persnya, Direktur RSUD Aulia, Dr. Rita Permata Sari, menjelaskan bahwa Pasien awalnya masuk menggunakan BPJS dan sudah diinput dalam sistem. Karena kondisi sesak, pasien diputuskan untuk dirawat inap guna observasi lanjutan. Namun, sebelum 24 jam, pasien meminta pulang atas kemauan sendiri. “Kalau pasien pulang atas permintaan sendiri, maka sesuai PP Nomor 82 Tahun 2018 memang tidak ditanggung BPJS,”. Tegasnya
Namun persoalan yang menjadi sorotan bukan hanya gugurnya klaim BPJS, melainkan bukti pembayaran yang diterima pasien berupa kwitansi tanpa stempel dan tanda tangan resmi RSUD.
Begitu juga dalam hal ini, Kasubag RSUD Aulia Pandeglang, Angga Iskandar Winata, berdalih hal itu murni “human error”. Kwitansi yang benar sebenarnya ini. Sambil menunjukan data barunya , Tapi ya, human error itu sifatnya manusiawi, karena kita bukan malaikat. Ungkapnya
Pernyataan itu membuat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, Hj. Eniyati, kecewa.enurutnya aturan pasien pulang sebelum 24 jam memang jelas tidak ditanggung BPJS, tetapi fatal jika bukti tagihan tidak sah.
“Saya kaget melihat nota penagihan tanpa cap dan tanda tangan. Itu fatal. Walaupun sudah dijelaskan pihak RSUD bahwa itu human error, tetap saja hal seperti ini tidak boleh terjadi,” katanya.
Sementara, Jaka Somantri, Sekjen AWDI (Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia) DPC Pandeglang, saat menghadiri Konferensi persnya, menegaskan bahwa kejadian ini bukan perkara kecil. “Ini menyangkut transparansi dan integritas pelayanan kesehatan. Jangan sampai masyarakat kecil selalu jadi korban, sementara pihak rumah sakit berlindung di balik alasan sepele. Ketusnya
Dari aspek hukum, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menegaskan:
Pasal 19 ayat (2): “Peserta berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.”
Pasal 20 ayat (1): “Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya.”
Diketahui Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan juga mengatur dengan jelas:
Pasal 52 ayat (1) huruf j: pelayanan kesehatan tidak dijamin BPJS apabila “peserta pulang atas permintaan sendiri”.
Namun, pada Pasal 58 ayat (1) ditegaskan: “Fasilitas kesehatan wajib memberikan pelayanan sesuai indikasi medis yang diperlukan dan tidak boleh menolak peserta.”
Dengan demikian, meski pasien pulang atas kemauan sendiri hingga klaim BPJS gugur, pihak RSUD tetap wajib menjaga prosedur administrasi yang sah dan transparan. Bukti pembayaran tanpa stempel dan tanda tangan resmi bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran prinsip akuntabilitas publik.
Kasus ini kembali membuka luka lama soal lemahnya pengawasan layanan BPJS di daerah. Publik kini menanti langkah tegas dari Dinas Kesehatan dan aparat penegak hukum, agar kasus serupa tidak berulang dan kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik tidak semakin terkikis. (Rudi Bako)