kontakpublik.id, SERANG--Suratan nasib yang salah dan harus menanggung derita seumur hidup -- bahkan sampai anak cucu dan cicit -- adalah ketika menjadi seorang pejabat di negeri ini memasuki masa pensiun justru mendapat cemooh, cacian dan umpatan bahkan sumpah serapah akibat dari perbuatan Mada lalu -- saat menjabat, baru diketahui justru menjadi penyebab rakyat banyak menjadi sengsara. Mulai dari sejumlah proyek yang dibangun, bukan saja lantaran ambisi pencitraan -- atau ingin punya legacy setelah mangkrak di rumah untuk menikmati hasil kerja yang terlalu sedikit bisa disebut halal -- karena dominan dilakukan dengan cara pat-gulipat dan kecurangan maupun keculasan. Sehingga nyaris tidak lagi menyisakan sedikitpun kekayaan negara -- yang sesungguhnya untuk rakyat itu -- habis terjual dan tergadai dalam bentuk hutang yang bejibun jumlahnya.
Kalau cuma begitu caranya mengelola bangsa dan negara ini, semua bisa dibangun tanpa perduli dengan jumlah hutang yang menumpuk. Apalagi dari sejumlah proyek pembangunan itu 12 persen sudah harus dibayar dimuka, jauh sebelum uang proyek itu diluncurkan, apalagi sekedar untuk menunggu proyek itu sendiri harus berjalan.
Pendek kata, istilah maju kena mundur pun kena bisa diibaratkan seperti permainan proyek di negeri ini. Sebab tak terlalu penting apakah kelak proyek itu akan mangkrak -- bahkan saat sudah selesai pun sungguh benar ada manfaatnya -- itu semacam pasal lain meski dalam kitab UU Kejahatan yang sama, tak perlu dianggap pusing.
Dari sejumlah proyek bernilai ribuan triliunan itu, bisa segera dibayangkan dari seluruh persentase yang harus dibayar dimuka itu sekarang telah menumpuk seperti gunung yang perlu bunker tersendiri, agar tidak berceceran ketika harus menghadapi sejumlah kasus yang bertubi-tubi dilakukan oleh berbagai pihak, tak cuma musuh yang pernah disakiti saat masih menjabat dahulu, tapi seabrek musuh baru yang baru ngeh telah dikali habis seperti kambing congek yang tidak berkutik untuk disembelih.
Tapi dera dan derita sang tokoh sentral yang menjadi penguasa yang sangat penting dan sangat berpengaruh pada masa jayanya dahulu itu, sesungguhnya kini tidak kalah menderita ditengah tumpukan harta benda yang tidak bisa dia nikmati dengan las-lasan seperti priyayi tempo dulu sambil bersarung duduk santai di teras rumah. Sebab setiap detik dan waktu tingkat kewaspadaan harus diperbaiki dan diperbaharui, lantaran berbagai serangan yang mendadak, sangat mungkin terjadi terhadap diri dan keluarga yang terus mengalami ketegangan. Seperti pengantin baru yang selalu merasa terus diintip dan diintai oleh orang-orang yang dianggap jahil. Padahal yang sesungguhnya, semua itu adakah hantu dari bayangan dirinya sendiri yang penuh dosa hingga tak lagi menyisakan ruang sunyi yang lapang.
Suratan nasib dari manusia termalang ini sebetulnya, seperti surat ijazah palsu yang tidak otentik dari Tuhan, tapi karena ulah dirinya sendiri yang melakukan pemakaian dari *suratan nasib" untuk dirinya sendiri, ya tentu wajar-wajar saja untuk dinikmati sendiri sampai mati. Jadi siksaan itu pun terhadap keculasan yang tak perduli terhadap dera dan derita orang lain akibat oleh olah perilakunya yang culas dan degil, sesungguh lebih menyakitkan dari mendekam di lembaga pemasyarakatan seburuk apapun yang ada di negeri ini. Apalagi sekarang, beragam fasilitas bisa dipesan secara instan saat hendak menjalani hukuman yang cuma sekedar formalitas itu. Sebab semua sudah ada skenarionya yang lebih baik bahwa semuanya sekarang bisa diatur dari uang korupsi yang telah disisihkan sebelum segala sesuatunya terjadi.
Dalam konteks ketidak Adilan inilah, agaknya azab itu bisa terjadi -- berpindah kepada anak, cucu dan cicit -- sebab perlakuan zolim telah dilakukan berlipat kali dari sesungguhnya yang terjadi. Dan setiap orang, bolah saja tidak percaya bahwa azab yang paling pedih itu pada saatnya akan diturunkan dari langit. Karena keadilan di bumi pun sudah dikorupsi. Banten, 15 Oktober 2025 (red)