kontakpublik.id, SERANG--Di dalam berbagai obrolan dan diskusi seputar spiritual, istilah berpikir dengan hati sering meluncur begitu saja dari pemikiran serta pembicaraan berbagai Nara sumber -- utamanya dari Pemimpin Spiritual Nusantara, Sri Eko Sriyanto Galgendu yang mendapat tempat terhormat dalam forum pemuka dan para tokoh agama-agama di Indonesia.
Hati -- sebagai bagian dari getaran nurani dan batin -- sangat berpengaruh cara berpikir manusia, karena menjadi pusat intuisi dan nilai-nilai spiritual tersusun rapi seperti rak perpustakaan yang rapi dan indah penataannya. Karena hati memiliki otoritas lebih memberi penilaian atas kebenaran dan kesalahan secara spontan -- tanpa perlu membuat sibuk akal yang sehat sekalipun untuk memutuskan sesuatu keputusan yang terpenting sekalipun. Karena itu, ketika hakim hanya menggunakan otak waras untuk memutuskan vonis terhadap tertuduh -- tanpa hati nurani -- putusannya bisa menjadi sangat zalim. Apalagi keputusan itu didasarkan atas titipan dengan pundi-pundi yang menggiurkan untuk memperkaya diri dengan mengabaikan hal keadilan bagi orang lain.
Karena itu, keputusan yang sangat penting harus dilakukan tidak hanya bersandar pada nalar yang jenius dan jenial seperti apapun, tanpa melibatkan bisikan hati nurani yang paling dalam tersembunyi dalam kesenyapan batin yang jernih dan tulus penuh keikhlasan. Artinya, dalam frekuensi emosional menandai denyut dan detak vibrasi spiritual masih berfungsi baik, tidak terjadi penyimpangan dari nilai-nilai insaniah dengan ilahiah. Karena pada dasarnya manusia adalah utusan Tuhan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Vibrasi hati yang normal akan selalu mengimbangi monopoli ego dan rasio, karena pikiran bisa membeku dan dingin ketika terlepas koneksitasnya dengan hati. Sebab di kedalaman hati yang suci ada empati, wekas asih dan kepekaan sensitivitas yang menjadi semacam sensor atas kebenaran atau kesalahan yang harus merujuk pada nilai-nilai manusia yang manusiawi, bukan pamrih bendawi atau mencari keuntungan pribadi. Begitulah hati selalu berbisik dalam upaya menjaga rasionalitas yang manusiawi -- bersifat ilahi -- bukan bendawi.
Syahdan, dalam filsafat dan agama pun -- eksistensialis yang dipopulerkan oleh Kierkegaard -- hati adalah pusat kebenaran untuk memilih dan menentukan keputusan yang terpelihara sekalipun. Dalam Islam sendiri -- hati sebagai pusat sumber kesadaran spiritual dan bersemayamnya iman, kepercayaan dan keyakinan -- menjadi acuan utama mendengar dan menjaga bisikan dari langit yang tak perlu diketahui oleh banyak orang, karena sinyal dari gelombang magnetik semacam itu merupakan milik pribadi untuk bercengkerama dengan Tuhan. Hingga keluarga sendiri pun -- anak, istri, suami bahkan mertua, apalagi baru sekedar pacar -- tidak bisa dan tidak boleh lancang dan culas mengakses koneksi yang spesial itu antara diri pribadi dengan Tuhan.
Oleh karena itu, dalam keculasan rezim yang paling ganas dan keji sekalipun -- ketika ancaman itu sudah memasuki wilayah spiritual keagamaan -- orang acap lebih nekat dan berani mempertaruhkan batang lehernya untuk dipenggal sekalipun. Begitulah esensi dari jihad fisabilillah -- yang tidak harus dipahami dalam arti perang -- tetap relevan untuk dikumandangkan oleh pemuka agama dan diyakini para pengikutnya yang yakin benar dan sahih. Sebab jihat fisabilillah itu -- bisa dilakukan dengan hati dan niat saja -- sudah merupakan bagian dari iman dan tauhid. Adapun esensi dari keimanan itu sendiri tumbuh dari akar kepercayaan yang keyakinan dari kedalaman hati atas petunjuk langit. Maka itu, keimanan itu berada dalam kedalaman hati, bisa diucapkan secara lisan tanpa perduli untuk didengar atau tidak oleh orang lain. Karena yang lebih penting diamalkan dalam perbuatan dan tindakan yang nyata maupun yang tersembunyi. Karena iman menjadi dasar keyakinan dan kepercayaan dalam semua perkataan dan perbuatan yang harus dilakukan.
Karena hakekat dari Jihat fisabilillah itu adalah segala bentuk usaha yang tulus dan ikhlas dan benar menurut keyakinan dan kepercayaan yang dipahami sebagai syariat untuk kebaikan, keadilan dan kemaslahatan bagi manusia serta alam semesta sebagai ekspresi dari Ketuhanan dalam peradaban manusia yang mempunyai kesadaran dalam peradaban yang tinggi.
Demikian juga dengan tauhid yang merupakan esensi dari keyakinan dan kepercayaan setiap orang dalam segenap aspek kehidupan, menyatu dalam jiwa dan raga dan Ke-Esa-an yang satu. Tauhid rububiyah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa --tunggal -- pencipta, pemelihara dan penguasa atas alam raya dan segenap isinya, termasuk makhluk manusia yang baik dan yang pongah serta mereka yang sombong sekalipun dengan kekuasaan yang sedang mereka genggam di dunia ini.
Dan esensi dari tauhid uluhiyah dan tauhid asma'wa sifat sebagai esensi dari keimanan yang tegak lurus mewujudkan keyakinan dan kepercayaan, bahwa Tuhan itu adalah Esa -- penguasa tunggal atas segala-galanya yang ada di bumi dan yang ada di langit.Banten, 20 Juli 2025 (red)