kontakpublik.id, PECENONGAN--Hukum Rimba itu tidak lebih mengerikan dari Hukum Laut, karena mafia di laut lebih ganas dan kejam dari Hukum Rimba, kata Wawan Subenu saat diskusi rutin mingguan Senin-Kamis, 17 November 2025 di Sekretariat GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) Jl. Ir. H. Juanda No. 4 A, Jakarta Pusat.
Nasionalisme spiritual atau sebaliknya seperti yang kini diperankan oleh Dedi Mulyadi (KDM) memberi semangat baru dalam habitat politik di Indonesia yang menggetarkan partai politik di Indonesia. Demikian juga dengan penolakan langsung PDIP yang diucapkan oleh Megawati terhadap pengukuhan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Padahal dalam kaitan dengan peristiwa 30 September 1965, semua pihak menjadi korban. Padahal, akibat dari perasaan sebagai korban yang dirasakan sepihak, perasaan dendam jadi terus berkelanjutan seperti yang terjadi sampai sekarang. Padahal, peristiwa berdarah itu sudah lebih setengah abad silam.
Rekonsiliasi, atau Islah, semua pihak harus menyadari kalau semua pihak telah menjadi korban. Karena hanya dengan begitu masing-masing pihak mengakui kesalahan diri sendiri untuk memberi maaf kepada pihak lain yang juga menjadi korban politik yang terjadi di negeri ini.
Demikian menurut Sri Eko Sriyanto Galgendu menanggapi paparan Subeki dari PDIP yang ikut nimbrung dari komunitas Joyo Yudhantoro, Wawan Subenu dan Agung Tjahyadi dalam topik mengulik perihal peta politik di negeri ini. Sama halnya dengan Keraton -- bukan hanya sebagai pertahanan budaya -- karena Keraton pun merupakan simbol kepemimpinan yang perlu dijaga nilai-nilai kesakralan dan spiritualitas bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sementara Joyo Yudhantoro melontarkan gagasan revolusi kebangsaan setidaknya pada awal Desember 2025 dapat melahirkan. kesepakatan gerakan untuk masa depan bangsa dan negara mengatasi masalah kemandegan dalam upaya memberantas kemiskinan dan kebodohan yang menjadi tujuan utama dari semangat kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sistem Kerajaan Mataram Islam yang dimulai oleh Sultan Agung perlu menjadi kajian yang serius, utamanya dalam upaya rekonsiliasi yang perlu segera dilaksanakan untuk kebaikan bersama segenap warga bangsa dan negara Indonesia. Atas dasar inilah pada 25 - 29 November 2025 sahabat dan kerabat GMRI akan segera menyambangi berbagai pihak ke Yogyakarta dan Solo hingga Muntilan dan Gunung Kidul. Begitulah tema nasionalis spiritual dalam konteks kebangsaan yang harus bangkit merupakan ladang persemaian GMRI -- Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia -- untuk mengeratkan ikatan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk menyongsong masa depan yang indah, harmoni, sejahtera.
Seperti cerita Guntur Tjahyadi tentang keraton cukup banyak renik peliknya politik dan ekonomi di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Pakualaman yang ditimpali Wawan Subenu tentang Kesultanan Ternate dan Sri Eko Sriyanto Galgendu mengenai Kasunanan Surakarta. Karena dia memang relatif dekat dengan Paku Buwono XII yang kini dipangku oleh Paku Buwono XIV , setelah Palu Buwono XIII wafat awal November 2025.
Dalam acara reuni kebangsaan di Bogor pada 6 - 7 Desember 2025 ini, GMRI lewat program sosialisasi "Kitab MA HA IS MA YA", Sri Eko Sriyanto Galgendu diharap dapat membekali peserta dengan gagasan spiritualitas kebangsaan sekaligus sebagai penanggap untuk acara bedah "Kitab MA HA IS MA YA" yang merupakan sari pati dari do'a bagi 79 tokoh nasional yang telah dibacakan pada 2- 3 Agustus 2025 silam sebagai wujud terima kasih serta ekspresi dari rasa syukur dari sejumlah tokoh yang telah berjasa dalam membangun gerakan kebangkitan kesadaran spiritual yang dia lakukan terhadap secara konsisten sejak 29 tahun silam. Pecenongan, 17 November 2025 (red)
