kontakpublik.id, PECENONGAN--Ibarat ban speda ontel yang sudah bocor keliling, bukan saja membingungkan tukang tambal harus memilih cara terbaik untuk mengatasi soal kebocoran itu, tapi alternatif terbaik adalah mengganti ban yang sudah bocor keliling itu dengan ban yang baru. Agaknya, begitulah metafora yang sulit untuk menggambarkan rusaknya negeri ini. Karena untuk menuding mereka yang berada di habitat politik, toh di wilayah ekonomi dan sosial, keagamaan pun tidak kalah parah korupsi terjadi dan dilakukan dengan riang gembira seperti tak ada dosa dibalik perilaku bejat mereka yang sangat biadab itu.
Bayangkan saja yang dan barang bahan pangan yang diatas namakan untuk orang miskin itu pun ditilep, tanpa rasa risi betapa kejam dan kejinya menelan hak untuk makan orang miskin yang papa, karena memang dimiskinkan secara struktural maupun kultural, agar sikap ketergantungan rakyat jelata semakin tak berkutik untuk terus dikendalikan. Dan yang tidak kalah penting dari semua itu bagi mereka adalah dapat terus menerus dijadikan obyek mengeruk keuntungan.
Karena itu, bantuan sosial dalam bentuk apapun hanya dapat ditolerir karena kondisi dan situasi sungguh-sungguh darurat. Sebab yang paling bijak dan tulus memberi kemudahan usaha, lapangan kerja serta modal kerja dan usaha yang menjadi pilihan rakyat sendiri, sesuai dengan kemampuan dan minat hingga hasrat yang terbaik bagi mereka sendiri, tidak perlu cawe-cawe terlalu jauh, sebab hanya dengan begitu pemberdayaan untuk warga masyarakat yang tercatat miskin dan perlu dicemaskan sejak kemerdekaan di diproklamirkan, itu yang menjadi mimpi siang maupun mimpi pada malam yang terjadi -- setidaknya sejak 16 Agustus 1945 -- sampai 17 Agustus 2025.
Jadi mimpi rakyat jelata di Indonesia sampai hari ini yang belum terwujud adalah merdeka dari kemiskinan dan merdeka dari kebodohan agar dapat menikmati kesejahteraan yang tidak hanya sebatas Sembako -- sembilan bahan pokok -- yang lebih banyak tidak juga tepat sasaran itu.
Karenanya, pada momentum perayaan ke-80 kemerdekaan bangsa -- bukan kemerdekaan negara Indonesia -- saatnya untuk merenungkan cita-cita proklamasi yang telah disepakati bersama seluruh rakyat yang lebih dominan tidak terbilang dalam kalkulasi jasa dan pengorbanan, karena kepahlawanan bagi mereka yang tulus dan ikhlas berjuang untuk bangsa dan negara ini hanya patut dan layak dihargai oleh generasi yang tampil kemudian dan waras dengan hati yang tulus dan mulia menghormati jasa para pejuang ketika itu, yang tidak mungkin dilakukan hanya oleh segelintir orang.
Atas dasar kesadaran merenungkan esensi dari peringatan hari kemerdekaan negeri kita kali ini -- agaknya apapun bentuk acara perayaan yang dapat dilakukan tidak lagi menarik, dibanding dengan melakukan kontemplasi -- perenungan -- tentang hakekat kemerdekaan yang harus memerdekakan rakyat dari segala bentuk penjajahan yang kini lebih banyak terselubung, dibungkus dengan retorika dan janji-janji seperti yang juga menjangkiti sifat dan sikap para aktivis dan kaum pergerakan.
Janji manis yang tak kunjung diwujudkan itu adalah perilaku munafik yang tak termaafkan -- utamanya bagi penyelenggara negara -- yang telah bersumpah dengan menyunggi alkitab di atas kepala atas nama Tuhan. Maka itu, pada peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia -- yang tinggal satu generasi lagi akan memasuki era Indonesia emas tahun 2045 -- ideal sekali untuk dijadikan tonggak sejarah untuk generasi pewaris negeri ini kelak untuk mewujudkan kemerdekaan yang memerdekakan. Sebab pesan Sang Proklamator bahwa masalah yang lebih berat harus dihadapi oleh segenap anak bangsa Indonesia sendiri, kini sudah terbukti bila yang lebih berat itu adalah menghadapi penjajah yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.Pecenongan, 7 Agustus 2025 (red)
