Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jacob Ereste : Acara Tafakur Dalam Peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa & Negara

Sabtu, 09 Agustus 2025 | 06.12 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-08T23:12:59Z

 




kontakoublik.id, SERANG--Esensi tertinggi dari kemerdekaan itu adalah memerdekakan orang lain dari keterjajahan, dari terjajah diri kita sendiri. Karena di dalamnya bersinar cahaya kesadaran yang mampu menerawang sosok kemerdekaan itu yang sesungguhnya, sakral, spiritual sifatnya.


Atas dasar itu agaknya founding fathers sebagai proklamator bangsa hingga membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) -- yang acap diteriakkan dengan "harga mati" sungguh akan lebih berat dalam menghadapi penjajahan yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri.


Dalam dimensi spiritual, sejatinya kemerdekaan itu bukan sekedar bebas dari penjajahan bangsa asing -- karena tidak kalah penting sekarang ini adalah bebas dari belenggu, tekanan serta penjajahan yang terselubung dari bangsa kita sendiri. Karena itu, kemerdekaan yang sejati itu esensi puncaknya adalah memerdekakan orang lain dari penjajahan termasuk dari dan oleh diri kita sendiri. Adapun puncak dari  kesadaran kemerdekaan dalam dimensi spiritual itu adalah keterjajahan batin, pikiran dan segenap sistem maupun situasi yang menindas, dan membuat rasa -- sebagai puncak kejiwaan manusia -- harus terbebas dari penindasan dalam bentuk dan cara apapun.


Oleh karena itu, makna spiritual serta nilai-nilai sakral dari hakikat kemerdekaan yang sejati itu mampu mengekspresikan makna kebebasan yang murni itu lahir dari kesadaran -- bukan hanya dalam bentuk fisik -- tetapi juga kebebasan dalam perjuangan moral dan intelektual yang kini terabaikan lantaran tergerus oleh nilai-nilai materi yang membius.


Itulah penyebab dari kebiadaban bangsa sendiri menjajah anak bangsanya sendiri. Baik yang dilakukan secara langsung dan transparan, maupun melalui korupsi, perilaku tidak adil, keserakahan untuk mengangkangi hak orang lain.


Jadi boleh dikata, memerdekakan orang lain dari berbagai bentuk keterjajahan, ketergantungan serta penghambaan sesama manusia merupakan bentuk dari kemerdekaan yang sejati itu. Maka dalam setiap momen perayaan hari kemerdekaan bangsa Indonesia, akan lebih baik melakukan permenungan, sekiranya tidak dapat mengekspresikan rasa syukur terhadap  kemerdekaan yang telah dinikmati -- meskipun hingga seabad kemerdekaan itu diproklamasikan -- capaiannya masih jauh seperti daging panggang yang lezat itu masih jauh dari api.


Dalam terminologi kaum sufi, hakekat kemerdekaan itu seperti Sidratul Muntaha dalam peristiwa Isra' Mi'rad, yang dapat dipahami sebagai metafora dari pertanda batas paling  ujung dari kesadaran dan pengetahuan manusia dalam konteks keterbatasan manusia di hadapan Tuhan.


Simbolika dari capaian spiritualitas yang tertinggi ini jelas mencerminkan suasana ruhani, dimana segala bentuk ego, kepongahan logika akademik dan puncak dari puncak menyatunya manusia dengan Tuhan. Sebab kekuasaan yang mutlak itu hanya milik-Nya semata.


Simbolik dari puncak cinta yang ilahiah ini seperti capaian Nabi sampai ke Sidratul Muntaha hingga meleburnya segenap ego dan birahi hewani yang merasuk dalam ruh (jiwa dan batin) manusia. Transenden dalam kesadaran manusia ikhlas untuk memerdekakan orang lain dari segala bentuk penjajahan hanya mungkin dapat dilakukan melalui  perjalanan spiritual yang setara -- atau setidaknya mendekati -- Sidratul Muntaha. Semua ini hanya mungkin diperoleh  setelah melakukan  perjalanan spiritual -- pembersihan jiwa, meningkatkan frekuensi batin dan mensucikan diri dari materi dan duniawi.


Jadi upaya untuk memerdekakan kemerdekaan manusia yang lain, tidak kalah penting dari kemerdekaan diri sendiri -- sebagai komponen bangsa -- untuk terus konsisten  berjuang demi dan untuk Indonesia sebagai bangsa dan sebagai negara yang merdeka. Makna dari tradisi pembagian bubur merah putih di kampung jelas lebih bermakna filosofis maupun simbolis dalam memaknai hari peringatan kemerdekaan -- yang acap dikatakan belum sepenuhnya  merdeka merdeka -- ketika merujuk pada pembukaan UUD 1945 yang sudah hampir seabad terukur mundur. Karena memang tak hanya terkesan berjalan di tempat, seperti tradisi baris-berbaris untuk merayakan perayaan dalam bentuk kegembiraan yang semu. Persis seperti lomba tarik tambang yang menyiratkan ambisi politik sektoral yang mau menang sendiri. Lalu lomba makan kerupuk yang hanya ekspresi kelaparan rakyat yang tak cukup memadai diguyur oleh bantuan sembako atau dana langsung tunai yang cuma sekedar pamer bila bekas kasihan telah menjadi perhatian yang sesungguh berada dibalik usaha untuk menilep anggaran yang lebih kejam dan keji karena mengatasi namakan dera dan derita yang menjadi sandra bagi rakyat.


Cara baru memperingati perayaan hari kemerdekaan yang cukup sakral ini bagi bangsa Indonesia, lebih urgen dilakukan dalam acara tafakur serta rasa syukur yang ikhlas dan tulus. Setidaknya dengan cara begitu, hakikat dari kemerdekaan yang paling substansial itu dapat diresapi dalam dimensi kesadaran spiritual yang paling dalam di lubuk hati sebagai bagian dari karunia Allah. Pada gilirannya, nyala batin bisa menerangi jalan agar tidak tersesat dalam ambisi kekuasaan dan kekayaan untuk sekedar menggagahi dan menindas rakyat. Banten, 8 Agustus 2025 (red)

×
Berita Terbaru Update