kontakpublik.id, SUMATRA BARAT--Dalam dunia sastra yang seharusnya lapang, reflektif, dan menjunjung daya cipta yang bebas, tiba-tiba kita dihadapkan pada kegemparan intelektual yang ganjil: Jacob Ereste menulis dengan nada panik seakan-akan keberadaan Denny JA sebagai pengasuh puisi esai dan pejabat publik adalah ancaman terhadap langit-langit sastra Indonesia. Sebuah tulisan yang tak hanya memperlihatkan kecemasan, tapi juga memperlihatkan sebuah kultus intelektual yang memalukan.
Apakah sastra Indonesia bergantung pada napas satu orang?
Pertanyaan itu seharusnya menjadi batu uji bagi Jacob Ereste sebelum menumpahkan kepanikannya. Bagaimana mungkin seorang akademisi dan jurnalis melupakan fakta paling dasar dalam sejarah sastra bahwa sebuah genre tidak pernah lahir dari satu rahim tunggal, apalagi jika genre tersebut mengklaim nama yang bahkan tidak orisinal?
Mari kita luruskan: puisi esai bukanlah temuan Denny JA. Bahkan sebelum kakek-nenek Denny JA atau Jacob Ereste lahir, dunia sastra telah mengenal bentuk puisi naratif-ekspositoris yang mengandung fakta dan gagasan. Dari puisi filsafat Khalil Gibran, puisi dokumenter Pablo Neruda, hingga lirik sosial Bertolt Brecht—semua itu telah menjadi narasi puisi esai dalam format yang lebih bernyali.
Maka ketika Jacob Ereste menggambarkan Denny JA sebagai pengasuh tunggal genre ini dan menyamakan dinamika kreatif sastra Indonesia dengan kesehatan satu tubuh seorang pria, kita patut bertanya: Apakah ini kekhawatiran, atau sebenarnya penjilatan dalam bentuk kekhawatiran?
Jacob tidak sedang menyuarakan kritik sastra, ia sedang menyembah.
Kebodohan yang Berbalut Retorika
Alih-alih menyigi peta perkembangan puisi Indonesia yang begitu luas dari Chairil Anwar, W.S. Rendra, Sapardi, Sutardji hingga generasi baru dari Makassar, Padang, dan Pontianak, Jacob hanya melihat satu matahari—Denny JA—dan ketika sang “matahari” ini bersinar di langit Pertamina, Jacob takut sastra akan kehilangan siangnya.
Betapa sempit. Betapa menyedihkan.
Sastra tidak butuh penopang tunggal, apalagi seorang pejabat negara yang menulis puisi sambil menyulap panggung politik dan statistik. Bahkan jika Denny JA berhenti menulis hari ini, Indonesia tetap akan punya ratusan penyair lain yang hidup dan bergerak, karena sastra tak pernah bersifat sentralistik seperti birokrasi.
Jacob Ereste dan Sindrom Kebergantungan Intelektual
Kekhawatiran Jacob yang menyebut bahwa jabatan baru Denny JA dapat “membebani puisi esai” menunjukkan kecemasan yang sebenarnya bukan terhadap sastra, tapi terhadap ikon-nya. Ia tak peduli pada estetika, ia hanya peduli pada figur.
Inilah gejala filsafat kultus, di mana seorang jurnalis tidak lagi bicara soal nilai, tapi melagukan kekuasaan simbolis dalam bentuk puja dan puji yang dibungkus dengan embel-embel “kekhawatiran”.
Jika dalam dunia kenabian ada penyembahan yang berlebihan, maka dalam dunia sastra tulisan Jacob adalah bentuk zikir paling bising untuk satu nama. Denny JA, dalam tulisan itu, bukan sekadar manusia. Ia dijadikan nabi sastra. Dan itu adalah bentuk degradasi berpikir paling fatal dalam dunia kritik.
Mengapa Kita Tidak Pernah Khawatir pada Penyair Lain?
Apakah kita pernah cemas ketika Afrizal Malna tidak menerbitkan puisi? Apakah kita takut ketika Sutardji menghilang dari panggung? Tidak.
Karena dalam sejarah sastra, tidak ada penyair yang menjadi penentu hidup-matinya satu genre.
Ketika Jacob Ereste mengangkat kecemasan sebagai selimut pujian, ia telah kehilangan nalar jurnalisme yang objektif dan menggantinya dengan perasaan irasional. Ia tidak sedang membela puisi esai, ia sedang membangun altar untuk penyairnya.
Biarkan Sastra Bebas dari Kultus
Sastra tidak tumbuh dalam bayang-bayang seorang tokoh, melainkan di dalam denyut kolektif masyarakat yang terus mencipta, menggugat, dan merenung. Jika Jacob benar mencintai sastra, seharusnya ia merayakan keragaman suara, bukan mengeluh karena satu penyair mungkin disibukkan jabatan.
Dan untuk Denny JA, jabatan tidak akan menghalangi siapa pun menulis puisi—kecuali puisi itu sendiri memang tidak ingin ditulis lagi.
Sastra Indonesia tidak sedang menunggu siapa pun. Ia bergerak. Dan Jacob Ereste seharusnya mengejarnya, bukan menatap satu nama dengan air mata kekaguman yang berlebihan.Sumatera Barat,2025 (red)