Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jacob Ereste : Puisi Esai Pun Berhak Mengembangkan Anak Keturunannya Menjadi Generasi Pra-Pujangga Baru di Indonesia

Selasa, 01 Juli 2025 | 09.04 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-01T02:06:06Z

 





kontakpublik.id, SERANG--Puisi adalah sosok bidadari dari surga yang lembut dan cantik, tapi juga bisa seperti malaikat pencabut nyawa yang tak bisa disogok seperti penegak hukum di negeri Kanoha. Pendek kata, puisi bisa diibaratkan pengantin saat di malam pertama di atas pelaminan yang aduhai. Sehingga sungguh sulit bukan hanya untuk diterangkan, tetapi juga sulit untuk dilupakan. Jadi begitulah misterinya puisi, sakral, spiritual dan acap faktual dalam potret yang buram.


Karena itu, mungkin saja begitu jodohnya mempertemukan dirinya dengan esai yang tangkas dan acap kali beringas namun bijak dan santun dalam gaya intelektualitasnya yang khas. Maka itu dia dominan dicirikan oleh fakta dan data yang mengacu pada hasil penelitian ilmiah atau realitas dari pandangan mata langsung yang terjadi di kampung sehari-hari. Jadi boleh saja dia bercerita tentang sembako atau bantuan langsung tunai yang tak pernah sampai, karena memang ditilep sendiri oleh mereka yang mengelolanya.


Pemikiran, perasaan, sentuhan hati yang membuat getaran vibrasi kemanusiaan terusik serta imajinasi  sang penyair, sungguh sah dan halal untuk menjadi bagian dari menu sajian yang hendak dihidangkan. Sebab fitrah bawaan puisi itu sendiri dari habitat sastra yang otentik, memang begitu tabiat dan sifatnya yang tidak perlu dijadikan perkara sengketa. Seperti lahan dan laut yang tiba-tiba ada sertifikatnya, termasuk hutan yang banyak menjadi kebun kelapa sawit di berbagai wilayah dan daerah.


Puisi itu seperti penari serimpi yang lurus gandes. Meski terkadang kondisi dan situasi yang acap memaksanya pamer sifatnya yang garang. Menghentak seperti penyairnya sendiri yang marah meninju bumi, menuding langit yang tak segera menurunkan petir dan badai untuk membakar angkara murka dan menerbangkan malapetaka yang hendak melantak manusia.


Jadi perangai puisi pun cukup memenuhi sarat beradaptasi dengan esai yang tak patut tampil telanjang tanpa busana penghias serta rumbai-rumbai yang indah agar enak dan sedap dipandang mata-hati yang mengintip dari tirai kalbu yang tembus pandang. Jika dalam kedua jenis kelamin naskah yang dipadukan ini -- puisi dan esai -- juga taat pada kata yang hemat -- tidak boros seperti anggaran operasional lembaga dan instansi pemerintah -- pasti pemerataan serta pemerataan dapat relatif terwujud di negeri ini. Maka itu, bahasa yang indah dan efektif serta efisien, padat dan penuh makna akan sama dan tinggi kualitas mutu kinerjanya seperti pamong praja yang sadar dan taat pada amanah yang dia  emban di pundaknya.


Tampilan yang sadar terhadap narasi yang tengah mengusung suatu beban yang hendak disampaikan pun tetap harus taat dan patuh pada irama atau Rima dalam  kemasan bahasa yang cukup punya nilai selera. Tidak kampungan. Sebab hanya dengan elan vital dan etos kerja kreatif serupa itu, logika dan kedalaman  gagasan yang hendak dijajakan bisa menarik dan merangsang minat orang tertarik untuk ikut menikmatinya. Artinya, pemahaman dan kesadaran pada hasil capaian -- apapun produknya -- harus dan wajib mempertimbangkan suka cita selera orang lain. Sebab apapun yang kita buat tidak bisa diartikan hanya untuk kepentingan sendiri. Karena kepentingan orang lain pun perlu dan wajib menjadi perhatian yang harus terus diingat.


Nilai-nilai sosial dalam puisi esai dari sinilah patut dimulai. Agar puisi esai tidak terjebak dalam perilaku masturbasi yang cuma sekedar untuk memuaskan diri sendiri. Lain ceritanya tentu saja dengan karya puisi pada pea jaman besi ke belakang yang beranjak dari upacara spiritual murni hanya untuk komunikasi dengan Tuhan -- dewa atau para leluhur -- hingga karya puisi tradisional itu dihanyutkan di kali agar sampai kepada Tuhan maupun dewa atau leluhur.


Suku Dayak di Kalimantan dalam beberapa upacara spiritual mereka, seperti Suku Aborigin di Australia yang sangat mungkin dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Buddha dengan ritual membersihkan diri dan berkirim do'a melalui sungai. Tapi ketika Suku Dayak atau Suku Aborigin melakukan perkawinan silang dengan suku bangsa  Lampung atau Minangkabau misalnya, klaim dari pihak ayah hanya sekedar untuk menunjukkan adanya garis keturunan yang jelas dan diperlukan untuk administrasi serta hak waris semata. Toh, bahasa Ibu sudah melekat dengan sendirinya, tanpa pernah dan tanpa perlu untuk diganggu gugat ke pengadilan.


Jadi bahasa Ibu dalam khazanah sastra mengisyaratkan bahwa  keseimbangan itu tetap harus ada serta dipertahankan agar harmoni tetap terjadi di bumi. Sama halnya dengan saudara saya dari Bugis berdarah Aceh, tak perlu sibuk harus memasang gelar Andi atau Teuku di depan namanya, agar tak perlu heboh seperti ijazah palsu yang acap bergelar Engineer dan doctorandus. Sebab tujuan dari puisi maupun esai sendiri mendambakan kedamaian yang harmoni dan nyaman.


Li Bai penyair Tiongkok pada jaman dinasti Tang pada 702-762 Masehi, sejaman dengan Fu Fu dan Wang Wei yang juga pelukis mendedikasikan karya mereka sebagai persembahan yang sarat nilai spiritual melalui berbagai upacara ritual yang sakral. Tradisi inilah yang menginspirasi kawan penulis -- semasa sekolah dahulu -- membacakan puisinya di atas kertas api malam saat pulang liburan -- menerbangkan karya di bawa angin malam di sepanjang perjalanan, untuk kemudian mendiskusikannya bersama-sama tanpa teks yang hanya tersisa dalam ingatan belaka.


Jadi, puisi esai itu ibarat perkawinan dua suku bangsa yang memadukan dua selera dalam hidangan bersama di meja makan sehingga kompromi dan semangat musyarawah pun terpadu dalam satu kebahagiaan bersama sambil mengurung rasa  kecurigaan agar monopoli  supaya tidak menggagahi pihak lain. Bukankah kesepakatan dari para leluhur kita pun telah memberi batas yang jelas untuk tidak inkes atau menikah dalam satu marga yang sama.


Setidaknya perkawinan antara puisi dengan esai dapat lebih memperluas habitat sastra maupun wilayah jelajah dari esai itu sendiri yang perlu tampil lembut gemulai, namun tetap tegas dalam bersikap dan membuat keputusan. Tidak mencla-mencle seperti kacang kedele hari ini, tapi esok telah menjadi tempe. Artinya pun dapat dieksplorasi lebih dalam, bahwa puisi esai pun memiliki hak untuk mengembang-biakkan anak keturunannya sebagai dinasti baru pengganti generasi pujangga baru yang tumbang tanpa dikudeta oleh siapan. Kecuali presiden penyair Indonesia yang digenggam penyair sufi Sutardji Qoulzom Bachri yang tak pernah mau menyelenggarakan Pemilu untuk penyair di Indonesia sampai sekarang. Banten, 30 Juni 2025 (red)

×
Berita Terbaru Update