kontakpublik.id, SERANG--peran guru yang sangat vital dalam membentuk karakter dan intelektualitas generasi penerus, ujar Wijaya Kusuma dalam paparannya "Guru Dibayar Murah, Artis Dibayar Mahal, Sebuah Paradoks Dalam Penghargaan Profesi di Indonesia", seperti yang termuat dalam media sosial hari ini, 18 Juli 2025. Padahal, profesi yang dibayar sangat murah di Indonesia, hampir dalam semua bidang pekerjaan, termasuk penulis yang diharap dapat ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa di Indonesia -- bukan hanya untuk karya yang termuat di media, untuk buku bahkan paper atau hasil kajian ilmiah yang memerlukan kerja keras hingga turun ke lapangan.
Jadi, profesi guru hanya salah satu bidang pekerjaan yang memerlukan profesionalitas tinggi, namun lebih banyak yang dibayar murah, karena penghargaan terhadap profesionalitas di Indonesia masih sangat rendah, persis seperti upah buruh yang tidak beranjak dari standar upah minimun regional yang dalam prakteknya untuk sekedar memenuhi kebutuhan minimum pun hanya mampu mencukupi sekitar 80 persen dari kebutuhan hidup minimal kaum buruh di Indonesia.
Masalah pokoknya adalah, semua bidang pekerjaan yang profesional itu -- termasuk penulis dan jurnalis -- memang baru sebatas bidang pekerjaan belaka yang selalu diasumsikan untuk memperoleh pekerjaan -- lantaran tenaga kerja umumnya di Indonesia masih dihargai amat sangat rendah. Atau bahkan memprihatinkan.
Oleh karena itu, pilihan bidang pekerjaan yang lebih bersifat dan memiliki sikap mandiri perlu dilakukan, sehingga sikap dan sifat ketergantungan pada pihak lain bisa ditekan sampai batas maksimal, hingga pada giliran kemudian tingkat nilai pekerjaan dalam jasa mampu memposisikan nilai tawar dalam semua bidang pekerjaan mempunyai harga yang setimpal dengan jasa yang dijajakan.
Idealnya memang, gaji seorang guru Indonesia dapat ditingkatkan empat kali lipat dari nilai yang bisa mereka terima sekarang. Sehingga kualitas mutu pendidikan pun bisa meningkat -- meski belum bisa segera sama empat kali lipat dari kenaikan nilai upah -- tetapi kualitas mutu dan kecerdasan peserta didik kita di Indonesia pun baru layak juga diharapkan meningkat.
Artinya, selama nilai penghasilan dari pekerjaan profesional seorang guru belum layak dan pantas untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya dalam takaran yang sejahtera -- meski tak perlu berkelimpahan -- agaknya baru patut diharapkan kualitas dari hasil keluaran pendidikan kita -- di semua jenjang -- bisa diharapkan berkualitas memiliki daya saing dan nilai jual untuk mereka yang membutuhkan tenaga kerja profesional yang mampu dan mau membayar sesuai dengan kualitas kerja yang dapat diberikan.
Kondisi obyektif di Indonesia hari ini, hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal guru honorer saja -- mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi saja, seorang guru -- termasuk guru besar -- harus melakukan kerja rangkap atau semacam pekerjaan ekstra untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama untuk membeli sejumlah buku dan mendapatkan berbagai informasi ekstra dari berbagai sumber, hanya untuk mengimbangi kemajuan jaman yang semakin melesat meninggalkan banyak hal yang sudah dianggap usang. Setidaknya untuk ilmu dan pengetahuan serta perkembangan teknologi digital mutakhir, agar tidak ketinggalan jaman atau tersisih dari bidang pekerjaan yang telah ditekuni sebagai profesi yang menjadi kebanggaan itu.
Guru honorer sama seperti Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara -- khusunya yang masih berstatus honorer -- terkesan maju-mundur untuk tidak disebut terus berjalan di tempat. Karena itu pilihan kerja bagi kaum profesional harus lebih memaknai bidang pekerjaan profesionalnya dengan cara kerja yang lebih profesional -- tidak amatiran -- seperti petanding atau petarung sejati yang tak hendak tergantung pada satu pilihan yang ditentukan oleh pihak lain. Sehingga bidang pekerjaan yang harus dilakukan itu benar-benar dapat membayar jasa secara profesional juga, tidak atas dasar belas kasihan apalagi motif penindasan terhadap pekerja seperti pada masa awal kaum buruh memasuki era revolusi industri maupun revolusi sosial akibat ketimpangan dari pihak yang kuat menindas dan memeras kaum yang kemah, utamanya para pekerja atau kaum buruh.
Oleh karena itu, paradigma berpikir dan bersikap untuk bisa bekerja lebih profesional lagi perlu meningkatkan ilmu dan pengetahuan hingga keterampilan ekstra untuk dapat sementara bekerja secara mandiri ketika belum memiliki peluang yang baik menekuni bidang pekerjaan yang sesuai dengan profesi dan keahlian yang dimiliki. Sehingga stigma tentang tenaga kerja murah yang ikut dikampanyekan oleh pemerintah Indonesia sendiri hanya untuk memanjakan para investor terlanjur menjadi bumerang bagi anak bangsa sendiri, seperti mereka yang banyak terpaksa bekerja di negara asing.
Agaknya, bagi kaum guru di Indonesia pun harus membangun paradigma baru seperti itu, sehingga bidang pekerjaan dari profesi seorang guru dapat lebih layak dan manusiawi. Seperti kesepakatan para founding father dan founding mather memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia bukan cuma sebatas terbebas dari penjajah -- termasuk sekarang penjajahan dari bangsa sendiri -- tetapi bagian dari esensi terpenting kemerdekaan itu bagi bangsa dan negara Indonesia adalah terbebas dari kemiskinan dan terbebas dari kebodohan. Dalam konteks inilah kesejahteraan para guru paralel dengan kecerdasan bangsa -- atau sebaliknya -- kecerdasan bangsa harus paralel dengan kesejahteraan yang berkeadilan.
Idealnya begitulah, kemerdekaan yang sejati itu adalah kecerdasan yang mensejahterakan -- atau sebaliknya -- kesejahteraan yang mencerdaskan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Sebab negeri ini milik kita bersama, bukan warisan nenek moyang kalian sendiri. Sehingga kekayaan negara merasa pantas kalian kelonin sendiri. Banten, 18 Juli 2025 (red)