kontakpublik.id, SERANG--Semua orang tahu bahwa berpikir itu menggunakan otak, tapi tidak semua orang paham bahwa otak itu tidak boleh berjalan sendiri tanpa tuntunan hati nurani. Dalam konteks inilah kesadaran dan kecerdasan spiritual itu lebih penting dari kesadaran dan kemampuan intelektual yang bisa terhasut melakukan tindak kejahatan seperti yang marak terjadi di negeri kita, Indonesia. Karena para pelaku tindak kejahatan itu tega melakukan kejahatan -- baik yang tersembunyi rapi maupun kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan -- umumnya dilakukan oleh mereka yang terbilang orang pintar cerdas, tetapi hati nuraninya beku, mati, tidak membersihkan nyala cahaya empati, tidak beretika dan tidak bermoral serta tiada akhlak, karena yang terbersit dibenaknya hanyalah kepentingan dirinya sendiri, tanpa menimbang kerugian yang bisa mendera orang lain.
Begitulah asal mula tindak kejahatan dilakukan, abai pada pertimbangan dan bisikan hati nurani agar tidak melakukan perbuatan yang buruk -- perbuatan yang bisa merugikan orang lain -- atau terkadang juga bisa lebih merugikan dirinya sendiri. Tetapi dasar dari perilaku jahat itu beranjak dari sifat dan sikap yang tamak, rakus, ambisi, egoistik, kemaruk, seakan semua hal boleh dia miliki tanpa batas dengan cara apapun. Maka itu perilaku korup sangat terkutuk dan pantas mendapat hukuman minimal seumur hidup atau bahkan perlu dilakukan sampai mati. Sebab hidupnya tak lagi diperlukan lantaran tidak mungkin dapat memberi manfaat yang lebih baik dari perbuatan yang telah dia lakukan.
Apalagi kemudian, perilaku korup dan tindak kejahatan ekstra ordinary ini dampaknya sangat menentukan bagi kehidupan orang banyak. Karena uangnya mereka entit itu adalah untuk kesejahteraan rakyat yang dihimpun oleh pemerintah. Kecuali itu, pemerintah sendiri jadi kehilangan muka, semakin tidak lagi mendapat kepercayaan dari rakyat. Sebab umumnya para koruptor itu adalah pejabat pemerintah yang patut dan wajib menjaga dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bukan kesejahteraan pribadi, kelompok atau gang mafia korupsi yang sudah meningkat dilakukan secara berjamaah.
Sejak lebih kurang 10 tahun lalu di Indonesia fenomena korupsi telah menjadi masalah yang akut dan dinyatakan sebagai musuh bersama, sehingga pemikiran untuk tidak memberi celah maaf terhadap ganjaran hukuman patut disertai oleh penyitaan seluruh aset terhadap pelaku korupsi dengan cara dimiskinkan. Tapi, toh realitasnya tak kunjung disahkan lantaran hampir semua pihak instansi dan kelembagaan yang ada di dalam pemerintahan -- termasuk legislatif dan yudikatif -- sudah terjangkit wabah korupsi. Kendati saat diangkat dan dilantik sebagai pejabat publik mereka semua disumpah atas nama Tuhan. Artinya, atas perbuatan tercela mereka itu sungguh pantas dikutuk oleh seluruh rakyat yang menerima imbas penderitaan akibat dari ulah keculasan mereka.
Perilaku korupsi itu wajar disebut perbuatan yang keji dan biadab, lantaran dilakukan dalam keadaan sadar dan umumnya telah relatif kaya dibanding rakyat kebanyakan yang masih berkutat pada masalah kebutuhan sehari-hari saja. Tetapi para koruptor itu melakukan pencurian, penipuan, penyalahgunaan wewenang dan jabatan karena ingin lebih kaya dari mereka yang telah kaya raya sebelumnya dari dirinya.
Kasus yang sedang dikejar oleh pihak Kejaksaan Agung mengenai kasus oplos BBM di Pertamina, korupsi di pertambangan timah, penyelewengan di perkebunan kelapa sawit, Crude Palm Oil, suap hakim, buzzer yang menghalangi penyidikan berbagai kasus yang tengah dilakukan oleh aparat penegak hukum hingga fenomena telegram Panglima TNI untuk menjaga secara khusus Kejaksaan Agung hingga Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri lebih dari cukup sekedar mengisyaratkan adanya sindikat atau mafia korupsi yang telah dibangun secara terstruktur, sistematis dan massif sehingga harus diperangi secara semesta dengan melibatkan semua pihak -- utamanya rakyat -- sebagai pemilik sah kedaulatan di negeri ini. Sebab hanya dengan begitu, budaya korupsi yang sudah mengakar tanggung di dalam perilaku warga bangsa Indonesia dapat dimusnahkan.
Satu diantara syaratnya untuk memberantas budaya korupsi adalah tiada ada pemberian pengampunan. Semua harta kekayaan yang pelaku korupsi disita oleh negara. Dan tindakan pemberantasan korupsi tidak dilakukan dengan tebang pilih. Karena itu, rakyat patut mencermati dan mengkritisi tindakan aparat penegak hukum -- Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi -- dan instansi terkait lainnya perlu dievaluasi keseriusan dalam ikut mengusut, mendukung dan melakukan tindakan pemberantasan korupsi di semua instansi dan kelembagaan yang ada di lingkungan pemerintahan. Termasuk BUMN (Badan Usaha Milik Negera) yang ingin memiliki kekebalan hukum di negeri ini. Sebab azas keadilan untuk memberantas tindak pidana korupsi tidak boleh ada perkecualian maupun pengampunan.
Begitulah, pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia tidak boleh ada pengampunan dan pengecualian. Sebab korupsi perilaku jahat yang sangat menyengsarakan rakyat.Banten, 14 Mei 2025
(Red)