Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jacob Ereste: Karakter Dosomuko dan Pedet atau Gudel Yang Tak Memenuhi Syarat Untuk Ritual Ibadah Aidul Qurban

Kamis, 29 Mei 2025 | 11.01 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-29T04:01:00Z




kontakpublik.id, SERANG--Semasa kecil dahulu, kegemaran nonton seni pertunjukan wayang kulit tidak terlalu banyak yang tersisa dalam memori setelah lama tersesat di perkotaan, tanpa bisa meneruskan kegemaran masa silam  yang telah terbilang tujuh puluh tahun silam itu. Tapi, sekarang, satu sosok dari tokoh wayang kulit itu yang selalu  berperan antagonis dalam kisah cerita Mahabharata itu juga  mungkin terlupakan juga oleh banyak orang Jawa kota maupun orang Jawa Desa. Tapi tiba-tiba sekelebat sosok Dosomuko  mengusik secara samar-samar,  seakan-akan sedang lewat dilayar tancep dang dalang.


Tokoh antagonis dalam pewayangan itu adalah Dosomuko yang dikenal sebagai raksasa yang jahat -- alias Buto -- punya sepuluh muka sebagai simbol kemunafikan. Dia pun suka membuat gaduh dan kehebohan serta  keonaran. Ia selalu menjadi musuh para tokoh yang baik, karena pada dasarnya dia adalah keturunan penjahat.


Seni sastra lisan ini sebetulnya sangat populer dan melegenda khususnya dalam budaya Jawa, sebagai kesenian tradisional yang masih bertahan, meski sudah dilupakan banyak orang asli Solo maupun daerah Jawa lainnya. Namun bagi warga masyarakat perkotaan, sesekali  masih dipentaskan untuk memeriahkan dalam berbagai acara. Kendati tak lagi menjadi minat kaum milenial yang telah tertelan oleh gadget atau handphone genggam yang bisa melayani selera hiburan mereka yang diinginkan.


Pendek kata, kisah mitologi, legenda atau sejarah yang telah dianggap usang itu, nyaris tak ada dalam memori generasi hari ini. Apalagi berharap para sebagian orang yang percaya bahwa seni pertunjukan wayang kulit adalah folklor -- cerita rakyat --meski bernilai adi luhung, penuh filsafat serta materi perenungan yang bagus untuk menjadi kaca diri, tapi sudah menjadi pertunjukan yang langka. Padahal, lewat tontonan wayang kulit, siapa  tahu diri kita pun sudah lebih buruk dari wajah dan perangai Dosomuko.


Dosomuko itu sendiri dalam terjemahan bebas dari ilmu dan pengetahuan yang sangat terbatas adalah sosok dari seorang tokoh yang memiliki wajah sepuluh muka. Bisa mulak-malik sesuai dengan peran serta kehendak yang dia inginkan. Sehingga banyak orang bisa terkecoh, apalagi sekedar untuk dibohongi atau dikadali dengan janji-janji palsu yang menghembuskan anginsurga. Pendek kata, tidak sedikit pihak yang telah  terkecoh dan termakan oleh kedegilan oleh ulah Dosomuko yang selalu dimitoskan ada  kesaktiannya.


Syahdan, Dosomuko adalah keturunan dari Batara Kala yang acap digambarkan sebagai Dewa yang memiliki kekuatan besar dan mampu mengubah waktu dan keadilan. Hingga anak keturunannya pun begitu -- jahat juga -- dan anak dari Dosomuko itu diantaranya  Kumbakarna yang terbilang loyal kepada keluarga, hingga bisa terus membuat jagat gunjang-ganjing nggak karuan, seperti pedagang martabak yang bisa membuat beragam macam rasa  sesuai pemesanan.


Begitu juga anaknya Dosomuko yang lain, Sarpakenaka dengan sifatnya yang licik dan culas. Dan mereka memang -- dalam berbagai versi cerita -- memang harus dibinasakan, lantaran merusak ketertiban dan keadilan, sehingga hukum dapat dijadikan mainan mereka sekeluarga.


Singkat cerita, Dosomuko sebagai keturunan yang berasal dari keluarga yang jahat, juga telah  melahirkan generasi yang jahat. Dari kisah Dosomuko ini -- mulai dari buyut hingga anak dan cicitnya, sangat diyakini oleh banyak orang sampai kini, kembali bergentayangan di negeri Alengka. Sehingga seorang seniman mengaku pernah melihat wajah Dosomuko itu sedang bergentayang di Senayan. Suatu ketika pun dia pernah melihat bayangan Dosomuko berada di Mahkamah Konstitusi. Konon hantu dari arwah Dosomuko memang telah hidup kembali untuk mengganggu konsentrasi kerja banyak orang di Istana Merdeka, Jakarta.


Padahal, saya sendiri sudah melupakan metafora klasik yang mendekati mitos itu,  karena memang saya harus lebih fokus pada kondisi kemiskinan diri sendiri -- sebelum bisa memikirkan deraan kemiskinan bagi orang lain, karena sampai hari ini seperti kisah yang tak usai dirundung malang. 


Betapa tidak, kehilangan pekerjaan akibat PHK tanpa pesangon yang memadai, kesulitan mendapat pekerjaan baru, sementara stock kebutuhan sehari-hari di rumah semakin mengering, jelas sungguh sangat  mencemaskan. Lalu apa bedanya kisah Dosomuko yang mengerikan itu dibanding realitas hidup yang lebih nyata sekarang ini. Yang terkesan seperti hantu dari arwah Dosomuko yang terus bergentayangan di negeri ini, meski hanya dari pasemon klasik Jawa yang tidak lagi menjadi perhatian banyak orang. Jadi begitulah luhur dan bijaknya pengajaran tradisi dan budaya Jawa tentang filsafat hidup dan kerendahan hati serta kehalusan Budi bahasa melalui medium seni pewayangan, hingga anak sapi pun yang belum dewasa hanya  patut disebut Gudel atau Pedet. 


Anak sapi yang disebut dalam bahasa  Jawa adalah pedet atau gudel, bukan tidak memiliki maksud yang bijak terkait dengan ibadah Aidul Qurban, sebab anak sapi belum cukup memenuhi persyaratan untuk dijadikan hewan qurban. Karena itu bisa lebih bijak dan rendah hati mengganti dengan seekor kibas atau kambing saja yang sudah dewasa, karena memang tidak bisa disamakan dengan kader politik karbitan. Jadi makna ibadah itu -- termasuk menjadi penguasa dan pejabat itu -- harus dan patut mencukupi syarat yang tak perlu dipaksakan. Apalagi sampai harus membuat yang palsu.


Artinya, upaya bijak untuk melakukan  identifikasi serupa itu agar supaya tidak serampangan menganggap anak sapi telah cukup memiliki syarat untuk dijadikan bagian dari ritual ibadah Aidul qurban pada hari raya ibadah Aidul Adha, tak bisa dilakukan asal-asalan sekedar untuk meraup pencitraan. Sebab ibadah bukan fashion show. Kecuali itu anak gembalamu yang belum cukup umur itu jelas belum memenuhi syarat, kecuali hanya ingin dijadikan korban gunjingan, hujatan dan caci maki semata bagi orangbanyak. Dan kamu pun sebagai kepala keluarga, mungkin tak lagi layak untuk disebut sebagai orang Jawa, karena sudah kehilangan pakem pewayangan dalam epos Mahabharata maupun legenda  Ramayana. Adapun makna dari hilangnya nuansa dan energi ke-Jawa-an kamu itu, setidaknya karena tak lagi memiliki rasa malu, alias rayi gedek. Karena perilaku bejat yang dilakukan -- persis seperti Dosomuko -- sungguh memalukan tak hanya bagi masyarakat Jawa, tatapi juga bangsa Indonesia umumnya lantaran  merasa telah kehilangan muka di mata masyarakat dunia.Banten, 28 Mei 2025

(Red)

×
Berita Terbaru Update