Kontakpublik.id,TANGGERANG-Tak ada pesan dan tak ada kesan yang janggal sebelumnya, hingga pekabaran kematiang sang penulis itu ditebar oleh seorang sahabat sore itu, betepatan pada hari pelaksanaan pemilihan umum 2024. Sehingga ada yang sempat mempolitisir kematiannya itu sebagai sanepo dari matinya demokrasi di Indonesia.
Padahal, sudah berulang kali doa sendiri nyatakan dirinya bukan makhluk politik. Sebab pada saat pelaksanaan Pemilu pertama pasca reformasi, dirinya sudah didapuk untuk menjadi calon legislatif dengan nomor urut yang menggiurkan dan boleh menentukan sendiri daerah pemilihan yang dia sukai. Tetapi semua itu dia tolak, tanpa perlu mengemukakan alasan dan keengganan dirinya. "Pokoknya, saya menolak", katanya singkat tanpa banyak komentar. Dan semua sehabat dan kerabat sudah maklum, sebab memang begitulah tabiat aslinya. Tidak mencla-mencle. Semua tegas dan ringkas dia nyatakan menolak pencalonan dirinya ketika itu. Bahkan ketika diminta pendapat dan saran, sekiranya dia ingin mengajukan satu nama, sahabat, kerabat bahkan dari lingkungan keluarga terdekat, dia juga menolak memberikan rekomendasi satu nama pun sekiranya yang dia anggap pastas untuk menggantikan dirinya sebagai calon legislatif dari daerah pemilihan manapun yang dia mau.
Padahal, dia sendiri adalah penggagas utama dari berdirinya partai politik yang cukup banyak mengundang minat orang yang terbawa arus eforia reformasi yang mampu memutus rantai Orde Baru, meski kemudian terus berlanjut dengan versi Orde berikut dengan gaya dan langgamnya yang nyaris tadak ada bedanya sampai sekarang. Atau bahkan, justru cenderung lebih parah dan gawat, menurut sejumlah para ahli ketatanegaraan di negeri ini.
Semasa hidupnya pun penulis kita ini sangat sadar bahwa politik akan sangat menentukan kebijakan negara maupun kebijakan pemerintah. Karenanya, dia percaya -- meski tidak berpolitik -- tapi semua orang harus dan patut paham ikhwal politik. Setidaknya -- sebagai warga negara dan warga bangsa -- jangan sampai menjadi korban politik. Sebab semua kebijakan yang dilakulan negera maupun pemerintah merupakan keputusan dan produk politik.
Apalagi pada jaman naw, dominasi para politisi di semua lini cukup dominan dan agresif. Sehingga mulai dari masalah ekonomi, kesejahteraa dalam arti luas sampai seni, budaya dan agama riap dipenuhi nuansa politik. Bahkan masalah hukum, seperti putusan pengadilan yang dilakuan dengan melanggar etik, tetap dianggap final. Padahal, suatu putusan pengadilan yang dilakukan dengan melenggar etik, bagaimana mungkin dapat dinyatakan final.
Itulah cacatan terakhir dari karya tulisnya semasa hidup. Catatan itu mungkin sekarang tengah menjadi topik diskusi hangatnya bersama Malaikat di surga yang belum pernah terjadi di dunia sebelumnya. Dan seandainya penulis kita ini masih bisa bercerita membuat semacam investigasi reporting boleh jadi ceritanya tak kalah seru dari kisah yang sesungguhnya terjadi di Indonesia ini." (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar