Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jacob Ereste : Fenomena Budaya Politik Dinasty Yang Semakin Berkembang di Indonesia

Selasa, 20 Juni 2023 | Juni 20, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-06-20T12:35:50Z


Kontakpublik.id,SERANG - 
Dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan hanya untuk bebarapa orang dari lingkungan keluarga yang bersangkutan, seperti yang terdata dalam ensiklopedia.

Pengertian politik dinasti adalah proses dalam upaya mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu negara.  Sehingga monopoli kekuasaan bisa berlangsung secara turun temurun, bergiliran dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Karena itu di negara kita, Indonesia -- yang berasal dari berbagai pemerintahan sistem kerajaan dan sepakat membentuk satu Negara Kesatuan yang berbentuk Republik Indonesia -- NKRI -- menjadi naib dan lucu untuk kembali pada sistem dinasty -- meski cara seperti itu dilakukan secara diam-diam, seperti yang juga telah dipraktekkan oleh partai politil di Indonesia.

Wangsa atau dinasty adalah sistem dalam upaya untuk melanggengkan kekuasaan secara turun menurun, tak ada peluang dan kesempatan bagi keluarga lain yang berada di luar darah keturunan dari penguasa yang tengah menggenggam tampuk kekuasaan.

Lain cerita untuk kerajaan tertentu -- seperti Kesultanan Ngayogyakarta Hadingrat -- yang disepakati  ketika Indonesia di merdekakan ada 17 Agustus 1945 -- tetap berbentuk kerajaan yang menjadi bagian dari negara Indonesia. Maka itu Yogyakarta disebut daerah istimewa. Tentu saja lain lagi ceritanya dengan Daerah Istimewa Aceh yang terkesan dikhianati kesepakatan istimewanya, sehingga keributan di Aceh sempat berlarut-larut hingga kini mendapat perlakuan khusus -- meski tak seindah posisinya yang pantas menyandang predikat istimewa seperti Ngayogyakarta Hadiningrat.

Keistimewaan yang terjadi di Indonesia hari adalah, adanya pengembangan dalam sistem dinasty modern yang memberi kemungkinan anak turunan atau anggota keluarga dari penguasa bisa menjadi penguasa di daerah lain. Misalnya saudara saya dari Bugis Sulawesi Selatan -- yang mungkin belum pernah sekali pun berkunjung ke Lampung, apalagi hendak diharap mampu memahami seluk beluk dan  masalahnya -- ujuk-ujuk mau mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah di Metro, atau Kalianda. Hingga yang terkesan dalam transmigrasi spontan calon kepala daerah seperti itu, seakan warga setempat tidak memiliki putra terbaik daerah yang mumpuni untuk memimpin di daerah tempat tinggalnya sendiri.

Model kepemimpinan yang "diekspor" dari negeri entah berantah  ini sungguh unik dalam tata budaya pemerintahan mutakhir di Indonesia pra Pemilu 2024. Setidaknya ada definisi baru soal dinasty ini, seperti yang ditumuskan oleh FX. Rudyatmo mantan Wakil Walikota Solo sehubungan dengan dukungannya terhadap putra bungsu Presiden Joko Widodo yang hendak majun sebagai calon Walikota Depok, itu tidak ada ada kaitannya dengan dinasty dengan kekuasaannya Jokowi. Difinisi terbaru ikhwal dinasty dari FX. Rudyatmo ini, kata Rocky Gerung sangat konyol, karena mengacu pada perbedaan dari Kartu Keluarga.

"Kalau politik dinasty itu masih dalam satu keluarga, KK (Kartu Keluarga) itu lho", katanya seperti yang dikutif oleh Rocky Gerung untuk sekedar membuktikan akal-akalan yang parikeno FX. Rudyatmo yang lebih terkesan politik "angkat telor" itu. 

Padahal masalahnya, kata Rocky Gerung, soal dimasty itu bukan masalah administrasi, karena sudah dipisahkan oleh  Kartu Keluarga, tapi soal politik kekuasaan yang berdasarkan dimasty turun -temurun.

Kecenderungan dalam budaya politil dinasty ini, seridaknya memang sudah melaten dan mewabah sejak reformasi tahun 1998. Yang utama memulainya adalah partai politik yang tidak mampu melahirkan kader ideologis,  tetapi kader yang brrbasis biologis semata.
Jadi Kaesang Pangarep yang mungkin belum pernah sama sekali ke Depok itu menjadi dianggap wajar bisa diekspor dari Solo untuk dijagokan  menjadi calon Walikota Depok. Tentu saja yang terkesan naib,  apakah sungguh tak ada satu warga masyarakat Depok yang lebih pantas dan lebih mampu memimpin di Kota Depok ?

Sepengetahuan  saya di Depok tidak kurang tokoh yang memiliki kaliber intelektual hebat, cendekiawan, ahli agama, pakar teknik, ahli ketatanegaraan yang uhahari dan mumpuni untuk membangun Depok lebih baik bersama sejumlah perguruan tinggi yang terkemuka di negeri ini.

Jadi sungguh aneh, bila model dinasty yang paling mutakhir bisa dipaksakan kembali tubuh di negeri ini. Setidaknya -- setahu saya -- orientasi masyatakat Depok pasti tidak akan pernah surut ke  belakang. Meski kesadaran terhadap masa kejayaan Prabu Siliwangi serta sederetan para leluhur masa lalu dari Tanah Pasundan tak pernah lekang dari ingatan dan penghormatan yang selalu  dimuliakan. (Red)

×
Berita Terbaru Update