kontakpublik.id, JAKARTA--Luhut Binsar Panhaitan saat menjabat Mantan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengakui izin pembangunan Bandar Udara (Bandara) di kawasan Indonesia Mirowali Industrial Park (IMIP) melalui rilis resminya, Senin 1 Desember 2025 memberi izin pembangunan fasilitas tersebut saat masih menjabat Menko Maritim dan Investasi di era Presiden Joko Widodo.
Ketika itu pemerintah menilai perlunya ada perubahan besar dalam pengelolaan sumber daya alam, adar Indonesia memperoleh nilai tambah lebih tinggi. Karena itu dari keberadaan proyek yang mengalah prosedur dan perundang-undangan ini perlu juga dievaluasi nilai tambah dari keberadaan proyek tersebut, terlepas dari keculasan prosedur dan pelanggaran undang-undang yang memposisikan negara Indonesia jadi semakin kerdil karena hilangnya kedaulatan atas bumi dan negeri ini.
Kawasan IMIP ini pun sudah dilakukan sejak rezim Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, namun baru rampung diwujudkan pada era Presiden Joko Widodo sekaligus meresmikannya, meski sudah berulang kali ditampik Joko Widodo tidak pernah merasa meresmikan proyek tersebut.
Jadi memang secara administrasi pun sudah rumit dan pelik. Bagaimana mungkin proyek segede itu tidak diakui telah diresmikan oleh Presiden. Sehingga dugaan liar justru menyasar pada Luhut Binsar Panjaitan sendiri yang acap berperan lebih kuasa dari seorang Presiden sehingga muncul olok-olok ketika itu sanepo tentang Presiden sekedar Boneka pajangan semata.
Dari proyek tersebut, kata Luhut Binsar Lanjaitan lahirlah kebijakan hilirisasi nikel. Lalu datanglah investor dari Tiongkok yang terus mencaplok kawasan tersebut hingga berada di luar kuasa kendali pemerintah Indonesia, lantaran keberadaannya di luar kontrol pemerintah Indonesia.
Cerita yang muncul kemudian, Presiden Joko Widodo telah memberi izin kepada Luhut Binsar Panjaitan untuk berembuk dengan Li Qiang dari China untuk mengenbangkan industri hilir. Bahkan diakhi juga telah melakukan koordinasi dengan Wang Yi untuk memastikan seluruh operasional mematuhi hukum Indonesia dan tidak nenimbulkan masalah terhadap lingkungan. Apalagi kemudian jadi terkesan "menjadi negara di dalam negara" persis seperti yang terjadi sekarang.
Klaim Luhut Binsar Panjaitan, terkait pembangunan Bandara IMIP yang janggal dan ganjil itu diputuskan dalam rapat resmi bersama sejumlah instansi terkait. Artinya, kalau kelak harus berukung dipenjara, betapa banyak pejabat yang harus dijerat jumlahnya. Meski begitu, pembangunan Bandara IMIP tetap dianggap wajar untuk mendapat fasilitas dan kebasan spesial seperti yang terjadi di Vietnam dan Thailand. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia sah dan halal untuk mengekor pada cara dan tata kelola pemerintah Vietnam dan Thailand menggadaikan negeranya. Apalagi menurut Luhut Binsar Panjaitan, Bandara IMIP hanya untuk penerbangan domestik, meski belakangan ketahuan dijadikan pintu masuk bagi tenaga jerja asing khususnya dari China maupun barang yang patut diduga menjadi ancaman bangsa dan negara Indonesia jadi sendiko dawuh dengan kehendak bangsa asing.
Jadi bantahan untuk kawasan IMIP serta Bandara Ilegal itu tidak memerlukan fasilitas bea cukai atau imigrasi, jelas semakin menunjukkan adanya pelanggaran yang tidak terampunkan, lantaran tak hanya melecehkan negara Indonesia, tetapi juga sangat menghina dan mengabaikan hukum dan perundang-undangan serta kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Sebab dari marwah bangsa dan negara ini sebagai penakar harga diri bangsa dan negara Indonesia merdeka yang sudah tergadai.
Jadi bantahan Luhut Binsar Panjaitan yang mengatakan tidak pernah mendorong untuk menjadikan Bandara IMIP sebagai Bandara Internasional -- keluar masuk barang dan orang secara gelap tampa kontrol -- jelas sudah dapat dikata telah melakukab pelanggaran yang tidak terampinkan akibat restu atau pembiaran dari rezim penguasa ketika itu. Karenanya, rakyat pun semakin gemes dan geram menunggu tindakan nyata dari pemerintah Indonesia yang tegas dan tuntas, untuk mengusut dugaan persekongkolan jahat ini -- setidaknya bagi mereka yang berwenang dan terlibat melakukan pembiaran kejahatan yang tidak cuma sekedar menguras sumber data alam Indonesia, tapi juga nemgkerdilkan sumber daya manusia yang seharus Indonesia yang wajibdan patut mendapat perlindungan serta fasilitas utama untuk memperoleh pekerjaan dan pelayanan. Tidak justru memanjakan bangsa asing lantaran bisa kebagian upeti. Jakarta, 4 Desember 2025 (red)
