kontakpublik.id, SERANG--Dalam teori membangun gerakan perlawanan rakyat, para aktivis percaya bahwa membiarkan nyala api kemarahan terus menyekam -- menebarkan asap membumbung ke angkasa -- menjadi isyarat terhadap banyak masalah yang masih diselesaikan. Mulai dari perilaku korup yang semakin parah hingga sikap khianat terhadap konstitusi dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang tidak lagi diperdulikan, pada akhirnya nanti akan menemukan momentum ledakan yang tidak lagi dapat dikendalikan. Sebab kemarahan rakyat telah tersublimasi menjadi semacam representasi dari kemarahan Tuhan.
Masalah pembajakan konstitusi di parlemen, hingga pengerukan sumber daya yang ada di perut bumi sampai penggundulan hutan yang harus dilindungi oleh negara dibiarkan terarah oleh Navis perkebunan sawit yang semena-mena -- dan juga tidak membayar pajak -- telah memperlebar luka sayatan di hati rakyat -- yang telah kandas untuk mengendalikan kesabarannya.
Begitu juga dengan sejumlah tersangka yang tak kunjung diproses hukumnya, serta sejumlah buronan yang tetap berkeliaran bebas menggagahi rasa keadilan rakyat yang dipercaya, telah membesarkan api kemarahan seperti yang diekspresikan padaa akhir Agustus 2025 hingga awal September 2025 yang marah dengan sangat liar dan bringas yang dinyatakan melalui perusakan fasilitas umum bahkan lalu membakar lantas bertindak sendiri melakukan perampasan aset di kediaman pejabat publik tertentu yang mereka anggap telah menjadi biang kerok kemiskinan dan kesejahteraan untuk rakyat jadi terpangkas yang terpendam sampai hari ini, kelak akan menjadi ancaman bagi kita semua. Sebab sasaran kemarahan kelak pasti berimbas kepada kita-kita juga.
Oleh karena itu, ruang dan waktu yang telah dipersiapkan oleh pemerintah Presiden Prabowo Subianto, perlu meningkatkan kecermatan dan kewaspadaan, agar dampak negatifnya tidak sampai menambah dera dan derita rakyat yang sudah sangat sengsara. Lantaran, potensi dan energi yang dimiliki rakyat jelas dan pasti akan mejadi penopang sekaligus kekuatan yang handal untuk membangun negeri ini secara bersama.
Intisari dari catatan pinggir ini -- meminjam trade mark kolomnis Goenawan Mohammad -- diinspirasi oleh serangkaian seri diskusi rutin MIngguan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang dibesut Sri Eko Sriyanto Galgendu bersama kerabat dan sahabat spiritual yang sangat yakin dan percaya bahwa untuk memperbaiki negeri ini tidak lagi bisa dipercayakan kepada para politisi manapun yang ada di Senayan -- karena kebobrokan etika, moral dan akhlak -- hanya dapat diperbaiki bersama pemimpin, tokoh serta aktivis yang memiliki kecerdasan dan kepiawaian serta kemampuan spiritual. Sebab spiritual selalu berpihak dan berdiri tegak dalam koridor etika (patuh dan taat) serta moral (yang jujur dan ikhlas) hingga akhlak mulia (yang sangat percaya kepada kuasa dan kebesaran Tuhan) yang telah memberi anugrah kepada manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya sebagai khalifatullah di bumi.
Momentum dari waktu dan tempat tepat saat ini bagi pemimpin maupun aktivis pergerakan yang memiliki kecerdasan dan ketangguhan spiritual untuk memperbaiki -- membangun bangsa dan negara -- bukan sekedar supaya yang tampil dipermukaan negeri ini bukan hanya wajah mereka yang dulu-dulu itu juga, tetapi realitas kebutuhan nyata untuk memperbaiki kerusakan akibat dari etika, moral dan akhlak yang bobrok, hanya mungkin bisa. dilakukan oleh pemimpin, aktivis, tokoh serta patriot bangsaI Indonesia yang berbasis pada akar budaya spiritual yang adil luhung. Banten, 7 Oktober 2025 (red)