kontakpublik.id, SERANG--Untuk memasuki wilayah spiritual memang diperlukan etika yang kuat dan kukuh tidak tergoda untuk melakukan penyimpangan dari hal-hal yang tidak baik dan buruk, sehingga mencemari kebersihan dan kejujuran hati untuk berbuat yang terbaik dan tidak merugikan orang banyak maupun diri sendiri. Sehingga dengan begitu persyaratan untuk mencapai tatanan moral yang bagus -- tanpa cacat dan cela -- dapat menghantar kepada akhlak yang bersih dan mulia. Sebab hanya dalam keadaan batin atau jiwa yang bersih, jujur dan tulus penuh keikhlasan, capaian untuk mendaki puncak-puncak spiritual yang sangat banyak variatifnya dapat tercapai. Kendati capaian itu sendiri masih berada pada tingkat yang awal. Padahal, puncak dari pendakian spiritual itu tiada ujungnya, sebab adanya hanya berada di liang kubur.
Oleh karena itu, laku dari perjalanan spiritual itu menjadi semakin mengasyikkan bila telah memiliki kesadaran serta sedikit pemahaman tentang perlu dan pentingnya dimensi spiritual itu untuk dimiliki sebagai bagian dari hidup dan kehidupan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Jadi spiritualitas itu hanya mungkin bisa dilakukan dengan dasar etika, moral dan akhlak yang baik. Ibarat tangga pendakian, etika bisa disebut sebagai anak tangga pertama untuk menapak ke anak tangga berikutnya -- yaitu moral -- hingga dapat berada pada bordes akhlak yang mulia, sebagaimana manusia yang dianugerahi oleh Tuhan sebagai khalifatullah di muka bumi. Tahapan berikutnya akan sangat tergantung pada upaya dan kegigihan yang bersangkutan untuk terus menapaki jalan dalam satu arah mendekatkan diri kepada Tuhan, agar bisa berbuat yang terbaik bagi sesama manusia, alam serta Sang Maha Pencipta.
Artinya pun dapat dipahami bahwa perjalanan spiritual itu esensinya bukan hanya sekedar "perjalanan batin" atau "ritual", melainkan jalan hidup yang mensyaratkan kebersihan hati, kejujuran, keikhlasan total untuk menerima segala bentuk dalam berbagai usaha yang sukses maupun yang gagal. Sebab sikap ikhlas dan pasrah bukan berarti kalah atau menyerah, namun berdasarkan kesadaran dan pemahaman bahwa kuasa manusia sangat terbatas. Selebihnya adalah bagian dari kekuasaan dan rahasia kebesaran Tuhan.
Etika itu sendiri boda dibangun lewat tradisi, kebiasaan, adat istiadat dan budaya yang ada di lingkungan yang melingkupi kehidupan yang bersangkutan. Karena itu, fenomena dari merosot atau ambruknya etika, moral dan akhlak dapat dilihat dari perilaku manusia hari ini yang tidak lagi memiliki sifat dan sikap unggah-ungguh. Tutur bahasanya fulgar dan kasar seperti yang tercermin dalam cara berkomunikasi lewat media sosial. Mulai dari penggunaan bahasa ucap, hingga tata kerama dalam menggunakan media sosial yang terkesan sarkastik dan memuakkan, termasuk hendak memaksakan pandangannya terhadap orang lain dengan cara yang tidak etis.
Keambrukan etika, moral dan akhlak ini pun bisa ditelusuri sampai ke bangku sekolah hingga ruang kuliah yang cuma mengejar kelulusan, bukan mutu dan kualitas yang harus didapat dari pembelajaran maupun pelatihan yang diikuti, hingga terkesan hanya untuk memperoleh legalitas semata. Maka itu ijazah palsu dan gelar palsu menjadi semacam trend untuk dimiliki, kendati tanpa isi dan bobot dari esensi ijazah maupun gelar yang diperoleh dengan cara yang tidak wajar, karena didapat melalui sogokan atau dibeli dengan harga yang relatif mahal.
Dari realitas semacam itu sesungguhnya yang tengah terjadi dalam masyarakat adalah kepalsuan-kepalsuan untuk sekedar memperdaya orang lain atau masyarakat luas, kendati isi yang sesungguhnya tidak ada, seperti pepesan kosong. Akibat lanjut dari budaya kepalsuan ini adalah kecenderungan untuk menipu dan memperdaya orang lain dalam bentuk janji-janji palsu yang diumbar tanpa pernah merasa bersalah, apalagi untuk mengakui sangat berdosa.
Kegandrungan tipu daya akibat dari kepalsuan yang terlanjur menjadi budaya ini, tampak merayah pada habitat politik, ekonomi, sosial dan budaya bahkan agama, seperti ikut menjadi obyek jarahan para koruptor dan para pemaling dan penipu, sehingga eksistensi Tuhan pun dianggap nihil, tidak dianggap penting, kecuali aparat penegak hukum yang tak mau disuap. Padahal realitas yang terjadi -- seperti fenomena korupsi berjamaah -- aparat penegak hukum pun justru dominan dan agresif untuk terlibat meminta remah-remah dari hasil korupsi yang semakin merajalela di negeri ini.
Itulah sebabnya gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual semakin relevan untuk terus menerus dikumandangkan oleh GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia), karena untuk membenahi kebobrokan politik, ekonomi, budaya dan agama tidak bisa dilakukan oleh instansi atau lembaga itu sendiri -- seperti Polri hendak mereformasi Polri -- tidak mungkin dapat berhasil, karena akar masalahnya berada pada wilayah spiritual, yaitu etika, moral dan akhlak. Jadi yang diperlukan adalah pemimpin yang memiliki kecerdasan dan karakter spiritual yang sadar dan paham bahwa segala sesuatu itu tidak bisa berpaling dan abai terhadap dimensi ilahiah. Banten, 8 Oktober 2025 (red)