kontakpublik.id, SERANG--Keadilan memang tidak bisa dipatok dengan pemberian jumlah yang sama, tetapi patut diperlakukan sesuai fungsi dan peran yang tekah diberikan. Bila tidak, maka loyalitas -- bahkan inisiatif yang maju melampaui kreatifitas -- bisa tidak terus berekembang akibat tiada pertimbangan insentif yang merangsang untuk loyalitas yang diharap tetap terjaga dan dapat terus berkembang.
Kesetiaan pun jelas perlu dijaga, kalau pun tak bisa semakin membesar nyala apanya harus tetap terjaga. Bila tidak, maka perkembangan tidak pantas untuk harap bisa terus melaju dan membuahkan hasil panen yang segar. Apalagi, pintu inisiatif dan kreatifitas acap dihambat hanya ingin melakukan ide dan gagasan sendiri. Karena memang, matahari tak pernah ingin kalah bersinar dari tembakan yang pembayarannya asalnya selalu romantis.
Ungkapan kejelasan tentang matahari dan rebulan ini memang acap menjadi bahasa ucap para penyair. Meski sesekali sering juga dibajak oleh para politisi yang kehilangan narasi dalam melafaskan mantan demokrasi yang semakin memudar isi dan kandungan nilainya seperti pasal-pasal yang dijual secara eceran.
Inisiatif dan kreatifitas harus otentik berdiri tegak lurus dialami hati yang bersih dan jujur. Bukan kamuflase untuk sekedar memanipulasi janji yang harus ditempati dengan kerja ikhlas dan tulus seperti nikmat yang telah terlumat dalam kesuksesan yang tidak mungkin atas jerih patah kerja sendiri. Sebab kita-- sebagai manusia yang beradab -- tidak mungkin bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Karena itu, pepatah usang tentang "jarang lupa pada kulitnya" sudah tak perlu disebutkan lagi, seperti pantun lama tentang Malin Kundang yang tak cuma durhaka kepada Ibundanya saja, terapi juga terhadap anggota pasukan yang telah mempertaruhkan loyalitas serta kesetiaannya dalam setiap langkah perjuangan yang seharusnya tidak lagi mengenal istilah sia-sia yang bisa menimbulkan bencana dan nestafa.
Pparan ini boleh saja disebut puisi esai tentang keganasan jaman yang tak beranjak dari kemiskinan yang terpelihara didalam pendaringan yang tak pernah selesai seperti hoax untuk pengalihan isu agar melupakan rasa lapar yang terus mengejar, seperti tak kenal lelah.
Lalu masihkah bisa diharap untuk lebih produktif menuai hasil yang maksimal, sementara segenap keterbatasan sudah berulangkali dihadapi dengan cara yang selalu dalam kondisi darurat.
Memelihara kemiskinan untuk ketergantungan adakah aib yang sesungguhnya dikemas lepura-puraan yang tak pantas dan tak patut menyesaki ruang peraturan sahabat dan kerabat yang ingin menjunjung tinggi sikap solidaritas, gotong royong dan sejenisnya yang acap digunakan dalam slogan seperti pepesan kosong untuk kedepan asesoris di meja makan. Sementara kopi pahit yang tidak punya sahabat, terasa semakin membeli di dalam pencernaan yang bingung dicerna oleh akal sehat.
Maka masihkan tersisa pengertian dan pemahaman terhadap apa yang tidak terucapkan ? Atau masih perlu dinyanyikan dalam nada dasar yang lebih memilukan hati untuk mengetuk belas-kasih yang tiada ada dalam khazanah bahasa sastra yang santun dan bermartabat ?
Begitulah pengertian yang tersebar dalam kebijakan yang kita tanam bersama di taman persinggagan kita, tak boleh layu hanya karena nila setitik yang memerilcik di belanga sup yang ajan kita santap bersama. Sebab kebahagiaan itu tidak pernah lebih indah dinikmati sendiri. Banten, 25 Agustus 2025 (red)
