kontakpublik.id, SERANG--Memang lalu spiritual tak boleh abai pada finansial maupun material. Karena realitas kehidupan harus dihadapi daya upaya yang lega lila, pasrah, Sumarah bukan berarti menyerah. Tetapi sikap ngotot untuk meraih sesuatu dengan menghalalkan segala cara bisa membunuh diri sendiri. Contoh dari ijazah palsu yang menghapus semua bentuk kepercayaan hingga harga diri tak lagi punya nilai apa-apa kecuali caci maki dan cercaan yang akan sampai ke langit menjadi kutukan yang sangat pedih hingga ke liang kubur sekalipun.
Hidup Sumarah itu keikhlasan menerima semua keadaan dengan tetap berusaha -- ikhtiar -- tanpa menafikan unsur lain dari luar diri kita sendiri. Utamanya ketentuan illahi Rabbi yang tidak mungkin dengan kepongahan logika secanggih apapun. Begitulah muara dari kejatuhan yang sakit dan menyiksa tanpa pernah diketemukan resepnya, kecuali taubat nasuha, kata mereka yang paham tuntunan dan ajaran agama untuk tetap meniti dan berada pada siritalmustakim.
Laku spiritualitas yang membumi justru tidak melupakan pijakan hidup di dunia yang nyata. Realistis untuk tetap berbagai dengan kebutuhan fisik dan aktivitas sosial agar tidak terasing dari masyarakat sekitar sebagai bagian dari kesadaran spiritual yang membumi. Karena kelaparan dan kemiskinan hingga beragam penderitaan bukan sekedar ujian batin, tetapi merupakan bagian dari lalu spiritual yang harus dilakoni. Sehingga laku spiritual bukan escafisme untuk menghindari realitas hidup yang harus dan wajib membayar rekening listrik, menyediakan bahan pangan yang cukup untuk tetap hidup. Jadi bentuk ketaatan terhadap keperluan sehari-hari untuk keluarga -- baik sebagai ibu rumah tangga maupun kepala rumah tangga -- adalah bagian dari kesadaran dan pemahaman spiritual yang membumi, terkait erat dengan alam dan budaya manusia yang harus ingat dan percaya kepada -- dan adanya -- Kemahakuasaan Tuhan. Sehingga apapun hasil usaha yang telah diperjuangkan dapat dipahami sebagai bagian dari takdir, bukan semata-mata atas kemampuan diri sendiri.
Takaran neraca dari keseimbangan hidup antara Spiritualitas dan realitas hidup perlu diselaraskan, agar tidak tumpang. Sebab batin, jiwa dan raga berada dalam satu ruh yang hidup dan menghidupi akal dan kecerdasan spiritual yang sejati. Bukan pelarian dari realitas untuk bersembunyi di dalam spiritualitas -- yang harus menggenapi bilangan hidup agar tidak ganjil dan naib -- seperti tamak, rakus dan kemaruk hingga tak tahu malu -- menilep hak orang lain.
Kerusakan dan kekacauan di negeri manapun bermula dari pengabaian terhadap etika, bobroknya moral dan sontoloyonya akhlak mulia titisan Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia sebagai khalifatullah -- wakil Tuhan di bumi. Karena itu aparat penegak hukum -- hakim, jaksa dan polisi -- sungguh sangat terkutuk dan pasti akan memperoleh azab yang pedih ketika menyelewengkan tugas dan kewajibannya untuk menunaikan amanah untuk rakyat yang patut dan wajib dilindungi, diayomi dan diperlakukan secara adil. Apalagi kemudian masih mau merekayasa keadilan untuk rakyat yang diperjual-belikan cuma demi dan untuk memperkaya diri atau mempertahankan kekuasaannya supaya tetap langgeng.
Kesadaran dan pemahaman terhadap siratalmustakim itu bukan teori, tapi lalu yang harus dijalankan seperti laku spiritual untuk mempersakti diri agar tidak tergoda atau tetangga oleh setan. Apalagi tak sedikit dari mereka yang justru sampai kemasukan setan dan berprilaku lebih dari setan.
Pilihan jalan spiritual untuk manusia Indonesia di masa depan menjadi mutlak diperlukan -- tak lagi bisa ditunda-tunda apalagi diabaikan. Sebab kerusakan yang terjadi dari hulu hingga hilir di semua sektor atau bidang kehidupan adalah ketiadaan etika yang diabaikan, kosongnya moral sebagai penuntun hidup yang selaras antara bumi dan langit, hingga ambruknya akhlak yang tak lagi menjadi pegangan -- mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi yang mengikuti selera para pejabat yang korup, serba ingin cepat kaya dan memegang jabatan yang tinggi hanya untuk berbuat sekehendak hatinya sendiri, tanpa pernah mengingat bahwa amanah itu adalah dari rakyat dan harus serta wajib untuk diwujudkan bagi rakyat.
Untuk itu, jika sungguh hendak melakukan perbaikan yang nyata di negeri yang sudah rusak-rusakkan seperti sekarang ini, harus dimulai dari etika yang baik, moral yang bagus serta akhlak mulia sebagai manusia agar tidak dicerca oleh rakyat seperti setan. Begitulah relevansinya laku spiritual sebagai penjaga penjaga etika, moral dan akhlak mulia manusia untuk bangsa dan keselamatan negeri yang masih sering disebut gemah Ripah loh jinawi, toto tentrem kerta Raharja. Sungguhkah begitu ?Banten, 15 Juli 2025 (red)